Kamis, 13 Mei 2021

Deretan Kisah Seru 'War Hero' dari Spesies Hewan Ini Benar-benar Terjadi

 1. Sersan Stubby dan Prestasi Luar Biasanya di Medan Perang



Bukan Film, Deretan Kisah Seru 'War Hero' dari Spesies Hewan Ini Benar-benar Terjadi

Sersan Stubby adalah anjing Amerika yang menjadi maskot untuk Infanteri 102, Divisi Yankee 26 di Angkatan Darat AS dalam Perang Dunia I. Pada tahun 1917, Stubby diselundupkan ke luar negeri menuju ke Prancis oleh pemiliknya, Prajurit J.Robert Conroy.

Keberadaan hewan di medan perang atau barak prajurit memang bukanlah hal aneh. Namun Stubby berhasil menjadi salah satu yang paling ‘istimewa’ bahkan mendapatkan gestur hormat dari Komandan pasukan setelah jasanya yang menyelamatkan para prajurit.

Ceritanya bermula ketika Stubby terluka dalam serangan gas, namun berhasil pulih sepenuhnya. Uniknya pasca kejadian tersebut, Stubby entah bagaimana paham tentang kehadiran gas beracun yang mematikan sehingga mampu memperingatkan pasukan yang sedang tidur ketika serangan tersebut muncul bahkan sebelum alarm tanda bahaya berbunyi.

Bukan Film, Deretan Kisah Seru 'War Hero' dari Spesies Hewan Ini Benar-benar Terjadi

Atas jasa ‘sederhana’ itu, Stubby berhasil menyelamatkan setidaknya ratusan nyawa yang terancam ketika serangan gas beracun mendadak terjadi.

Tidak hanya itu, kemampuan Stubby di medan perang juga terlihat ketika dirinya mampu melacak pasukan yang terluka di parit, memahami kata-kata dalam bahasa Inggris dan menggonggong untuk memberi tahu petugas medis terdekat.

Sementara itu, pencapaiannya yang paling mencengangkan dari anjing luar biasa ini adalah jasanya ketika melakukan penangkapan terhadap mata-mata Jerman, yang ditangkap saat mata-mata tersebut tengah membuat peta parit milik sekutu.

Stubby berhasil menaklukkan prajurit itu dengan gigitan di kaki sampai pasukan muncul.

Pasca kejadian tersebut Stubby dihadiahi kenaikan pangkat menjadi sersan, sekaligus menjadi hewan pertama di Amerika Serikat yang menerima pangkat resmi.

emoticon-Ngakak (S)emoticon-Ngakak (S)emoticon-Ngakak (S)

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

2. Sersan ‘Ceroboh’ Si Kuda Pemberani di Garis Depan


Bukan Film, Deretan Kisah Seru 'War Hero' dari Spesies Hewan Ini Benar-benar Terjadi

Sersan Reckless atau Sersan Ceroboh, pada awalnya hanya digunakan sebagai kuda pacu di Korea dengan nama Ah Chim Hai, atau ‘Api di Pagi Hari’.

Kuda unik ini kemudian dibeli oleh Letnan Eric Pederson, dan secara resmi direkrut untuk bergabung bersama Korps Marinir di bawah Recoilless Rifle Platoon, Perusahaan Antitank, Resimen Marinir Kelima.

Si ceroboh ini awalnya hanya diberikan tugas berupa pembawa senjata dan amunisi yang besar kepada para prajurit yang membutuhkan, namun kuda satu ini dikenal lebih dari pada itu.

Si ceroboh terkenal dengan sifatnya yang ceria dan easy going ketika tengah berbaur dengan para rekan tentaranya. Kuda ini dikenal suka menikmati bir dan memakan apa saja yang ditawarkan oleh rekannya. Dirinya bahkan memiliki hak kebebasan untuk berkeliaran di kemah dan seringkali ditawarkan makanan kesukaan berupa telur dadar, dan minuman Coca-Cola.

Bukan Film, Deretan Kisah Seru 'War Hero' dari Spesies Hewan Ini Benar-benar Terjadi

Namun keceriaan tersebut akan mendadak berubah menjadi keseriusan ketika situasi perang terjadi. Hal itu terlihat pada garis depan ketika banyak hewan lain yang ragu untuk maju, Si Ceroboh ini dengan cerobohnya, maju begitu saja sembari mengantarkan apa yang diperlukan oleh para rekannya di garis depan.

Selama masa mengabdinya, si ceroboh mendapatkan promosi kenaikan pangkat menjadi menjadi sersan staf dan sejak saat itulah kuda ini dikenal sebagai Sergent Reckless atau Sersan Ceroboh.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

3. Jackie Sang Babon, Kehilangan Kakinya Demi Negara

Bukan Film, Deretan Kisah Seru 'War Hero' dari Spesies Hewan Ini Benar-benar Terjadi

Jackie si babon diketahui melayani negaranya di parit Perang Dunia I setelah dikirim bersamaan dengan resimen Infantri Afrika Selatan ke-3.

Jackie awalnya adalah hewan peliharaan Prajurit bernama Albert Marr, seorang pemuda Afrika Selatan yang bergabung dengan militer dan bertanya apakah dia bisa membawa Jackie bersamanya.

Setelah diberikan izin, babon ini pun dibawa ikut serta dalam penugasan militer. Selama berada di medan perang, Jackie tidak tinggal di barak dengan kondisi leher dirantai, sebaliknya, babon ini ikut serta dalam latihan sebagaimana prajurit lainnya, dan sangat dihormati karena perilakunya yang baik sehingga ia dijadikan maskot resmi unit tersebut.

Jackie diberikan seragam yang resmi yang sesuai ukurannya, dilatih untuk memberi hormat dan paham untuk mengambil sikap istirahat di tempat, dirinya bahkan ikut berpatroli bersama Albert sebagai penjaga larut malam.

Bukan Film, Deretan Kisah Seru 'War Hero' dari Spesies Hewan Ini Benar-benar Terjadi

Dengan kelebihan indera pendengarannya yang tajam, Jackie seringkali berhasil untuk memperingatkan resimen  rekannya tentang pergerakan musuh di sekitar. Dirinya bahkan ikut membantu ke medan perang Albert ketika tertembak oleh peluru di daerah bahu.

Jackie yang berada di lokasi berusaha untuk tetap tenang, dan tetap disisi rekannya. Babon ini bahkan menjilati luka Albert sebagai usaha pertolongan pertama.

Sayangnya petualangan perang Jackie harus berakhir ketika dirinya terluka oleh pecahan peluru selama pemboman musuh terjadi. Jackie selamat namun salah satu kakinya akan diamputasi untuk menyelamatkan nyawanya.

Pensium dari medan perang, Jackie dan Albert cukup beruntung untuk selamat dan kembali ke kampung halaman. Keduanya bahkan bekerja sama dengan Palang Merah untuk membantu mengumpulkan uang bagi pasukan yang terluka.

emoticon-Malu (S)emoticon-Malu (S)emoticon-Malu (S)

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

4. Wojtek Beruang Prajurit Polandia


Bukan Film, Deretan Kisah Seru 'War Hero' dari Spesies Hewan Ini Benar-benar Terjadi

Ketika memelihara anjing, burung, monyet, hingga kuda adalah sesuatu yang normal di medan perang, maka bagaimana dengan beruang?

Jika gansis mencari war hero seekor beruang, maka Wojtek adalah salah satu yang paling unik. Beruang coklat bernama Wojtek ini adalah apa yang dideskripsikan sebagai prajurit beruang mabuk yang pemberani.

Wojtek memulai petualangan seru di hidupnya ketika sekelompok tentara Polandia membeli dirinya yang masih berupa bayi beruang di pasar Iran. Wojtek kemudian dibesarkan oleh para tentara dan berkenalan dengan manusia sejak usia dini.

Dirinya pun secara resmi diadopsi ke dalam Pasukan Artileri ke-22 Korps II Polandia, di mana dia masuk dalam daftar resmi dan bahkan menerima jatah serta tugas militer.

Bukan Film, Deretan Kisah Seru 'War Hero' dari Spesies Hewan Ini Benar-benar Terjadi

Wojtek si beruang unik ini dikenal karena kecintaannya pada bir dan mengkonsumsi rokok mati. Kehadirannya juga menjadi pendorong moral yang besar bagi para prajurit yang kelelahan. Namun kehadiran Wojtek tidak hanya sebatas itu.

Beruang coklat ini benar-benar berjasa di medan perang dengan kehebatannya dalam melaksanakan tugas logistik berupa mengantarkan persediaan peluru, senjata, makanan, dan hal lainnya untuk rekan-rekannya di garis depan.

Namun setelah perang berakhir, Wojtek pensiun dengan pangkat Kopral. Dirinya pun menghabiskan waktu-waktu damainya di Kebun Binatang Edinburg, dimana secara teratur dikunjungi oleh rekan perang dan mereka yang membesarkannya dulu.

emoticon-Ngaciremoticon-Ngaciremoticon-Ngacir

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

5. Sersan Bill si Kambing


Bukan Film, Deretan Kisah Seru 'War Hero' dari Spesies Hewan Ini Benar-benar Terjadi

Sersan Bill adalah seekor kambing Kanada yang bertugas sebagai anggota Batalyon Kanada ke-5, dan dikirim ke luar negeri untuk berperang dalam Perang Dunia I.

Sersan Bill berasal dari sebuah keluarga di Saskatchewan yang menghadiahkan dirinya ke batalion perang di Quebec.

Para prajurit perang ini cukup berani untuk menyelundupkan Bill ke S.S. Lapland, padahal setelah itu, Bill seringkali mengganggu beberapa petugas saat ditempatkan di Prancis, dirinya bahkan pernah ditahan militer dua kali, sekali karena memakan beberapa dokumen penting, dan sekali lagi karena ‘Berdebat’ dengan atasan.

Namun Bill mendapatkan kembali kehormatan dari para petinggi setelah berhasil menangkap seorang tentara Prusia pada pertempuran kedua Ypres, dan akhirnya dirinya diberikan pangkat resmi menjadi Sersan.

Bukan Film, Deretan Kisah Seru 'War Hero' dari Spesies Hewan Ini Benar-benar Terjadi

Rekor perang dari Sersan Bill juga cukup luar biasa karena dirinya berhasil menyelamatkan tiga nyawa manusia dan selamat dari cedera yang tak terhitung jumlahnya, termasuk luka pecahan peluru dan kaki ketika berada di parit.

Sersan Bill pun menerima banyak medali dan pujian atas tindakannya, kambing terhormat ini akhirnya pensiun dan dikirimkan kembali ke Saskatchewan kepada keluarga asalnya.

Saat ini, tubuh Sersan Bill diabadikan di Museum Sejarah Broadview, masih dengan dress biru prajurit khas miliknya.

6 Ilmuwan Dari Indonesia Yang Mendunia

 Saat pertama kita masuk sekolah banyak dijelaskan penemu-penemu yang ada di dunia misalnya Alexander Graham Bell, Thomas Alva Edison, James Watt, Albert Einstein, dan masih banyak lagi. Sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini, maka tidak sedikit juga alat-alat teknologi yang ditemukan.

6 Ilmuwan Dari Indonesia Yang Mendunia

Tetapi meskipun banyak penemu yang kita ketahui, namun tahu nggak kalo dari Indonesia juga bayak lho. 
Di bawah ini saya akan bagikan untuk kita semua, yuk dibawa sampai selesai ya.

1. Dr. rer.nat Muhammad Nurhuda


Seorang laki-laki yang berprofesi dosen Fakultas MIPA dari Universitas Brawijaya Malang ini adalah sudah berhasil menciptakan kompor yang ramah lingkungan. Kompor yang di temukan oleh Muhammad Nurhuda telah mendunia dan telah ditetapkan oleh WHO karena limbah kompor ini dibawah batas minimum.
Beliau juga pernah menerima penghargaan Energi Prakarsa dari Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2011 lalu.

2. B. J. Habibie

Beliau merupakan salah satu Presiden Republik Indonesia dan sebagai penemu pesawat terbang yang dulunya pernah menempuh pendidikan Universitas di ITB (Institut Teknolongi Bandung.
B. J. Habibie lahir di Pare-pare Sulawesi Selatan 25 Juni 1936 dan meninggal pada tahun 11 September 2019.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

3. Prof. Dr. Khoirul Anwar

Handphone adalah salah satu seluler genggam yang banyak digunakan di Indonesia dan terdapat beberapa jenis jaringan contohnya 2G, 3G, dan 4G. Jaringan broadband atau 4G merupakan hasil temuan dari Khoirul Anwar. Beliau merupakan peneliti terbaik di Jepang asal Indonesia.

4. Randal Hartolaksono

Beliau adalah orang yang menciptakan bahan anti panas dan anti api dari kulit singkong yang pernah kuliah di University Of London. Atas penemuan beliau sangat dihargai oleh perusaan dunia otomotif luar seperti Ford dan Petronas.

5. Dr. Warsito P. Taruno

Penemu alat pembuluh sel kanker adalah orang asal Indonesia, yaitu D. Warsito P. Taruno. Beliau adalah lulusan asal Shizuoka University. Ia merupakan salah satu peneliti kelas dunia yang berasal dari Indonesia dan juga menyimpan banyak kisah inspiratif.

6. Yogi Ahmad Erlangga

Perusahaan minyak dunia sekaliber Shell tertarik dengan temuan Yogi Ahmad Erlangga. Rusuman yang diciptakannya adalah bisa menyelesaikan masalah perminyakan. Beliau merupakan dokter matematika  lulusan Delft University Of Technology di Belanda.

Nah, itulah beberapa penemu terkenal di dunia asal Indonesia. Dengan teknologi zaman dulu yang masih terbatas para beliau dapat mewujudkannya dan harusnya dengan perkembangan teknologi zaman sekarang maka Indonesia akan lebih maju lagi.
 


Penulis : Dewisman Gulo



Sumber : catatanwisman

Gorbachev: Pahlawan atau Pecundang?

 Gorbachev: Pahlawan atau Pecundang?

Cover Gorbachev: Pahlawan atau Pecundang? Foto: Dok. Dipo Alam.
Ketika Uni Soviet bubar pada Hari Natal, 25 Desember 1991, saya kurang lebih sudah setahun kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan doktoral di Amerika Serikat. Sebuah imperium komunisme berumur 70 tahun, yang telah menjadi penyeimbang kekuasaan Amerika sesudah Perang Dunia II, telah ambruk. Meskipun cukup mengagetkan, mengingat masih besarnya pengaruh Soviet di periode beberapa tahun sebelumnya, namun jika kita menilik gaya kepemimpinan Mikhail Gorbachev, keruntuhan Soviet memang bukan hal yang tak pernah diperkirakan. Meminjam istilah orang Amerika, it's not a question of ‘If’, but ‘When’?

Ketika dia naik menjadi Presiden Uni Soviet pada 1985, Gorbachev memang mewarisi ekonomi yang bangkrut dan sistem politik yang gagal. Kedua hal itu bukanlah kesalahan Gorbachev. Namun, kebijakan yang diambilnya untuk mengatasi dua persoalan tersebut, yaitu perestroika (restrukturisasi) dan glasnost (keterbukaan), telah mempercepat kegagalan tadi menjadi berita kematian. Hari Natal itu, hampir tiga dekade silam, Soviet runtuh dan terpecah menjadi 15 republik merdeka.


Dalam disertasi yang saya tulis di School of Engineering & Applied Science, George Washington University, di bawah Gorbachev, Soviet memang telah tertinggal jauh dari Amerika, bukan hanya dalam soal ekonomi, tapi terutama dalam soal teknologi. Padahal, seperempat abad sebelumnya, berkat kemajuan ilmu pengetahuannya, Soviet pernah berkali-kali mengungguli Amerika dalam persaingan teknologi ruang angkasa.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Gorbachev: Pahlawan atau Pecundang?
Lukisan Balerina St. Petersburg karya Dipo Alam
Pada 1957, misalnya, melalui Sputnik II, Soviet berhasil mengirimkan pesawat tanpa awak pertama yang berhasil mengorbit bumi. Dua tahun sesudahnya, Soviet juga menjadi negara pertama yang berhasil mengirimkan makhluk hidup ke luar angkasa, dengan mengirimkan seekor anjing bernama Laika. Ketika itu, Amerika bahkan baru berpikir untuk mendirikan NASA (The National Aeronautics and Space Administration). Dan ketika NASA baru berumur dua tahun, pada 1961 Soviet sudah berhasil mengirimkan manusia pertama ke luar angkasa.

Yuri Gagarin memang tidak mendarat di bulan, namun capaian pada tahun 1961 itu menjadi milestone dalam sejarah ilmu pengetahuan di abad ke-20.


Dalam hal teknologi nuklir, meskipun untuk beberapa saat setelah Perang Dunia II Amerika memegang kendali superioritas nuklir, namun pada dekade 1950-an Soviet mampu mengejarnya secara agresif. Pada akhir 1950-an, Uni Soviet bahkan telah mampu membuat rudal balistik antar-benua yang dapat mencapai wilayah Amerika Serikat dan Eropa Barat.


Namun, pada dekade 1980-an, semua itu tinggal cerita masa lalu. Soviet ibarat raksasa ringkih yang penyakitan. Ketika pada 1983 Ronald Reagan mengumumkan proyek Inisiatif Pertahanan Strategis (SDI, Strategic Defense Initiative), atau yang populer disebut sebagai “Perang Bintang” (Star Wars), Uni Soviet tidak lagi berada dalam liga yang sama. Mereka lebih banyak sibuk dengan urusan dalam negerinya. SDI adalah program rudal anti-balistik yang dirancang untuk menembak jatuh rudal nuklir di luar angkasa. Dengan proyek tersebut, Amerika mulai melangkah untuk meninggalkan strategi Mutually Assured Destruction (MAD), yang sejak 1962 menjadi strateginya dalam menghadapi Perang Dingin dengan Uni Soviet.

Nama dan akronim MAD berasal dari John von Neumann, fisikawan yang membantu Amerika mengembangkan persenjataan nuklir. Secara umum, MAD adalah teori militer yang dikembangkan untuk mencegah penggunaan senjata nuklir. Teori ini didasarkan pada premis bahwa perang nuklir bersifat sangat destruktif, sehingga tidak ada pemerintah yang benar-benar akan menggunakannya. Sebab, siapa pun yang memulai perang nuklir, tidak akan memenangkannya, karena kedua belah pihak pasti akan hancur. Jadi, MAD sebenarnya bukanlah strategi untuk perang, melainkan agar semua pihak menahan diri dalam penggunaan senjata nuklir.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Kemunduran Soviet
Ketertinggalan Soviet kian terlihat ketika mereka banyak tergantung pada teknologi tinggi yang berasal dari luar untuk mengembangkan program militernya. Selama Perang Dingin, Soviet diketahui berusaha untuk mengembangkan program kapal selam bertenaga nuklir yang lebih tenang, agar tidak mudah dilacak dan dideteksi oleh musuh.

Pada awal 1980-an, mereka memanfaatkan milling machine yang diproduksi oleh Toshiba dan sebuah perusahaan militer asal NorwegiaKongsberg VÃ¥penfabrikk, untuk menambal kebutuhan militer tersebut. Mesin milling itu digunakan oleh Soviet untuk mencetak baling-baling kapal selam dari baja antikarat, atau perunggu, yang sesuai dengan kebutuhan mutakhir program militer mereka.


Hal itu telah membuat Amerika marah dan memberi sanksi kepada Toshiba. Washington kemudian mengeluarkan larangan penjualan 2 hingga 5 tahun untuk semua produk Toshiba, dengan dalih penjualan teknologi mereka kepada Uni Soviet telah telah menimbulkan ancaman keamanan nasional bagi negeri Paman Sam tersebut. Toshiba dianggap telah melanggar perjanjian COCOM (Coordinating Committee for Multilateral Export Control), yang melarang seluruh anggotanya untuk mengekspor senjata atau peralatan canggih kepada Uni Soviet. COCOM adalah sebuah perjanjian dagang blok Barat yang dibentuk pasca-Perang Dunia II yang beranggotakan Amerika Serikat dan 16 negara Eropa Barat dan Jepang. Perjanjian ini baru bubar sesudah tahun 1994.

Kebetulan, ketika itu industri semikonduktor Jepang yang dipelopori oleh Toshiba juga telah berkembang sedemikian rupa, sehingga berhasil melampaui Amerika sebagai pemasok chip terbesar di dunia. Pada tahun 1987, mengutip data Los Angeles Times pada bulan Agustus 1992, pangsa pasar produk DRAM (Dynamic Random Access Memory) Jepang telah menguasai 80 persen pangsa pasar. Adanya kasus “Toshiba-Kongsberg” itu telah dimanfaatkan dengan baik oleh Amerika untuk “memukul” dua saingannya sekaligus, yaitu Soviet dan Jepang.


Dari sisi kepentingan politik Amerika, kasus pelarangan produk Toshiba pada pertengahan tahun 1980-an itu sebenarnya kurang lebih serupa dengan kasus pelarangan Huawei yang dilakukan oleh Presiden Trump tahun lalu terhadap Cina. Dulu konteksnya adalah persaingan teknologi Perang Dingin dan industri semikonduktor, kini konteksnya adalah perang teknologi 5G.

Kembali ke soal Gorby, tidak adil memang memindahkan semua tanggung jawab keruntuhan Soviet hanya ke pundaknya. Pemimpin Soviet sebelumnya, Leonid Brezhnev, yang berkuasa antara 1964 hingga 1982, oleh banyak orang dianggap sebagai sosok yang paling bertanggung jawab atas kegagalan Soviet mengangkat taraf perekonomian mereka.


Brezhnev telah menyia-nyiakan keuntungan dari ledakan harga minyak (oil boom) yang terjadi sepanjang dekade 1970-an hingga awal 1980-an untuk membiayai perlombaan senjata dengan musuh besarnya, Amerika Serikat. Ketika Gorby naik ke pucuk kekuasaan, booming harga emas hitam sudah berakhir. Dunia bahkan sedang mengalami resesi. Lelaki kelahiran Stavropol, 2 Maret 1931 itu, harus mewarisi ampas kegagalan komunisme selama enam dekade.


Tetapi, benarkah demikian, bahwa komunisme hanya mewariskan kegagalan ke pundak Gorby?

Sayangnya, tesis “kegagalan komunisme” menghadapi bantahan serius. Sebab, ketika Gorbachev menawarkan gagasan reformasi di Soviet, melalui perestroika dan glasnost, pemimpin komunis lainnya, Deng Xiaoping, juga kurang lebih telah menawarkan gagasan serupa di Cina. Bahkan, Deng telah memulainya lebih dulu, yaitu sepeninggal Mao pada 1976. Kita sama-sama bisa melihat, alih-alih bubar, Cina justru kemudian bisa menjelma menjadi negara adidaya baru. Sementara, Soviet justru bubar lebih kurang sesudah enam tahun Gorbachev memimpin.

Gorby versus Deng
Hingga tahun 1987, Uni Soviet sebenarnya masih memiliki banyak tanda akan bertahan, bahkan untuk beberapa dekade setelahnya. Meskipun perekonomian terus memburuk, mereka masih merupakan negara adidaya yang setara dengan Amerika. Lagi pula, seluruh dunia juga sedang menghadapi persoalan ekonomi serupa. Sehingga, ketika mereka kemudian bubar tanpa satu rudal pun ditembakkan ke wilayahnya, maka seluruh mata kemudian tertuju kepada Gorbachev.

Sejak 1986, Gorby berusaha mendemokratisasi Uni Soviet dan mengakhiri Perang Dingin. Dia menyimpulkan bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan otoritas Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) adalah dengan membuka sistem untuk partisipasi warga negara. Ia berusaha untuk menghadirkan kebebasan berbicara dan meletakkan dasar-dasar bagi proses demokratisasi. Selain itu, ia juga mencoba untuk mengubah Soviet yang sangat terpusat menjadi negara federasi yang sesungguhnya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Pada mulanya gagasan-gagasan itu mendapatkan sambutan hangat dan memberi suami Raisa Titarenko itu popularitas yang menjanjikan di dalam negeri. Di negara-negara Barat, ia segera menjadi media darling. Tak heran jika ia kemudian bisa segera bersahabat dengan orang yang seharusnya menjadi musuh besarnya—Presiden AS Ronald Reagan. Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher bahkan segera memujinya sebagai “orang yang bisa kita ajak bisnis”.

Tetapi, berkebalikan dengan pujian dunia internasional yang menjulang, di dalam negerinya segera menjadi terang bahwa sebagai pemimpin Gorby sebenarnya tidak memiliki perhitungan apa pun atas risiko dari keputusan-keputusan politiknya. Dia sama sekali tak menyadari implikasi dari upaya reformasi ekonomi dan politik secara drastis yang dilakukan secara bersamaan terhadap masa depan negaranya.


Kita bahkan bisa melihat jika dia tak mengambil pelajaran apapun dari reformasi yang tengah dilakukan oleh Partai Komunis Cina (PKC), yang mungkin bisa mengubah masa depan negaranya. Padahal, sebagaimana ditulis oleh New York Times pada 6 September 1987, serombongan pejabat PKUS sebenarnya telah melakukan kunjungan ke Cina guna membandingkan jalan reformasi yang tengah ditempuh oleh tetangga komunisnya tersebut. Fakta-fakta semacam itu segera membuat kualifikasi kepemimpinan Gorby jadi dipertanyakan. Sebagai pemimpin, ia dinilai sangat lemah.


Belakangan, kepada William Taubman, yang menulis buku "Gorbachev: His Life and Times" (2017), Gorby mengakui kelemahannya. “A czar must conduct himself like a czar. And that I don’t know how to do,” akunya. Pengakuan ini sepertinya lebih memberi penjelasan kenapa Uni Soviet, sebuah eksperimen terbesar sistem komunisme pertama di dunia, bisa ambruk begitu mudah tak lama sesudah merayakan hari ulang tahunnya yang ketujuh puluh.


Jadi, di balik dongeng tentang Gorbachev dan Uni Soviet, bukan hanya ada isu klise mengenai “demokrasi versus totalitarianisme”, sebagaimana yang ditekankan oleh tulisan Hamid Basyaib, melainkan ada isu besar yang mungkin lebih relevan untuk kita perhatikan, yaitu tentang betapa vitalnya faktor kepemimpinan (leadership) bagi masa depan sebuah bangsa.

Gorbachev: Pahlawan atau Pecundang?
Mikhail Gorbachev. Foto: Dok. Flickr
Runtuhnya Soviet memang memberi “berkah terselubung” (a blessing in disguise) kepada dunia. Setidaknya, untuk beberapa saat dunia jadi terbebas dari horor ancaman perang nuklir yang pernah begitu ditakuti. Namun, di sisi lain, runtuhnya Soviet juga telah membuat Amerika jadi kehilangan kekuatan penyeimbangnya, sehingga selama lebih dari satu dekade setelahnya mereka menjadi satu-satunya “polisi dunia”.

Seandainya Gorbachev mau belajar kepada Deng, misalnya, mungkin sejarah Soviet bisa ditulis dengan narasi lain. Seperti halnya Gorby, Deng juga berusaha menyelamatkan Cina dengan “jalan pemurtadan”. Tertarik dengan keberhasilan Lee Kuan Yew membangun Singapura, sejak 1979, ribuan pejabat RRC dikirim untuk mempelajari keberhasilan pembangunan negara kecil di Selat Malaka tersebut.


Secara umum, Deng dan PKC melakukan langkah reformasi pasar dalam dua tahap. Pada tahap pertama, yang berlangsung sejak akhir 1970-an hingga awal 1980-an, mereka melakukan dekolektivisasi pertanian, membuka negara untuk investasi asing, dan membuka pintu bagi kewirausahaan serta kemudahan izin berbisnis. Meskipun demikian, sebagian besar industri strategis tetap dipertahankan menjadi milik negara. Pada tahap kedua, yang dimulai sesudah paruh kedua tahun 1980-an hingga awal 1990-an, mereka mencoba memperluas privatisasi, melonggarkan monopoli, dan memberi tempat yang lebih luas kepada sektor swasta.

Namun, berbeda dengan Gorby yang mengusung reformasi ekonomi dan politik sekaligus, Deng melakukan reformasi ekonomi dengan tetap mengunci rapat-rapat laci politiknya. Hasilnya, sesudah satu dasawarsa melakukan reformasi, perekonomian Cina menanjak dengan pesat.


Apa yang dilakukan Deng di Cina pada akhir tahun 1970-an itu sebenarnya mirip dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Soeharto di Indonesia pada akhir dekade 1960-an. Mewarisi kebangkrutan ekonomi sepanjang periode Demokrasi Terpimpin Soekarno, Soeharto memilih untuk membuka keran ekonomi lebar-lebar sembari mengontrol politik secara ketat. Ketika terjadi oil boom, sebagai negara pengekspor minyak, Indonesia juga turut menikmati rezeki nomplok kenaikan harga tersebut.


Berbeda dengan Soviet yang membelanjakan duit minyaknya untuk perlombaan senjata, Indonesia menggunakan uang itu untuk membangun infrastruktur pendidikan, pertanian, dan kesehatan. Menurut Esther Duflo, dalam salah satu risetnya, “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from a Usual Policy Experiment”, antara periode 1973 hingga 1978, Indonesia membangun lebih dari 61 ribu sekolah dasar.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Duflo, yang memenangkan hadiah Nobel Ekonomi pada 2019, menulis bahwa program SD Inpres merupakan salah satu program pembangunan sekolah terbesar di dunia. Program itu muncul untuk memperluas kesempatan belajar di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah, baik di perdesaan maupun perkotaan. Pembangunan SD Inpres telah mendorong proporsi yang signifikan dari populasi masyarakat Indonesia untuk mengenyam pendidikan dasar lebih lama. Peningkatan akses terhadap pendidikan itu telah menyebabkan peningkatan upah 1,5 hingga 2,7 persen untuk setiap sekolah tambahan. Dengan kata lain, Duflo menyimpulkan program ini sukses meningkatkan perkonomian.


SD Inpres merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. Hingga akhir PJPT (Pembangunan Jangka Panjang Tahap) I, yaitu tahun 1994, tercatat hampir 150 ribu unit SD Inpres telah dibangun. Seiring dengan itu, ditempatkan pula lebih dari 1 juta guru Inpres di sekolah-sekolah tersebut. Total dana yang dikeluarkan untuk program ini tahun 1994 mencapai hampir Rp 6,5 triliun. Atas keberhasilan program ini, pada 1993 Presiden Soeharto telah diganjar penghargaan Medali Emas Unesco Avicenna (Pendidikan) oleh UNESCO.



‘Poor Leadership’
Usaha untuk mereformasi perekonomian sembari tetap mengontrol ketat politik, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Soeharto dan juga Deng, memang tidak populer di mata warga dunia, khususnya di negara-negara Barat. Namun, di luar soal suka atau tidak suka, strategi semacam itu telah berhasil mengantarkan Cina kepada perkembangan luar biasa sebagaimana yang kita saksikan hari ini, dan pernah mengantarkan Indonesia menjadi salah satu dari “Macan Asia” (Asian Tigers) pada awal dekade 1990-an.


Di sisi lain, segala puja-puji yang pernah diterima Gorbachev, karena melakukan reformasi politik dan ekonomi secara bersamaan, justru telah mengubur negara adidaya itu ke dalam museum sejarah. Ini adalah sesuatu yang ironis sebenarnya, sekaligus juga tragis. Negara besar itu bubar justru ketika pemimpinnya sedang disanjung-sanjung warga dunia.



Meski dianggap sebagai pemimpin otoriter, namun baik Soeharto maupun Deng memang perlu dicatat dengan tone positif sebagai para pemimpin yang telah memberi contoh bagaimana membangun sebuah pemerintahan teknokratik, di mana kaum intelektual telah diberi kekuasaan yang besar di dalam pemerintahan. Sejak berkuasa pada 1968, Soeharto telah membangun tradisi teknokratik tersebut. Kabinet teknokratik yang dibangun Soeharto ini sebenarnya sama dengan konsep zaken kabinet yang dipraktikkan pada zaman Perdana Menteri Mohammad Natsir.


Sepeninggal Mao, sejak 1980-an Deng juga menjalankan strategi serupa dengan melakukan transformasi elite secara besar-besaran. Sehingga, pasca-Mao, Cina segera diatur oleh kepemimpinan teknokratis. Di tangan Deng, kaum teknokrat telah muncul menjadi para pemimpin inti PKC, di mana pada masa Mao semua jabatan penting kepartaian hanya bisa diduduki oleh tentara, petani, dan kelas pekerja saja. Sejak saat itu, selain kedudukan-kedudukan penting di partai, sebagian besar kursi pemerintahan di Cina juga telah digantikan oleh para ilmuwan, insinyur, serta golongan terlatih lainnya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Sementara itu, sebagai pemimpin, Gorby telah keliru membuat kalkulasi dengan mengira bahwa demokrasi bisa disulap atau diimpor begitu saja. Dia mengira transformasi politik dan ekonomi bisa dilakukan sekadar dengan mengubah prosedurnya. Padahal, sebuah negara totaliter bisa saja beralih menyelenggarakan pemilihan umum, namun hal itu tidak otomatis menghadirkan demokrasi.


Itu sebabnya, meskipun secara umum media-media Barat menempatkan Gorby seolah “nabi”, namun Gorbachev tidak pernah mendapatkan penghormatan di negaranya sendiri, utamanya Rusia. Dia selalu berada dalam urutan terbawah dalam berbagai jajak pendapat mengenai orang-orang Rusia yang dianggap hebat.


Bahkan, pada Agustus 1991, ketika warga Soviet melakukan demonstrasi besar-besaran membela dirinya dari sebuah aksi kudeta yang kemudian gagal, mereka melakukan hal itu bukan untuk mengembalikan kekuasaan ke tangan Gorby, melainkan sekadar untuk membela benih-benih demokrasi yang telah tumbuh di Moskow. Sikap itu mewakili bagaimana penilaian rakyat Soviet, dan juga Rusia, terhadap kepemimpinan Presiden Uni Soviet kedelapan tersebut. Meski tiap tahun rutin memberi ucapan selamat ulang tahun kepada Gorby, Presiden Putin sendiri menyebutnya sebagai penggerak “bencana geopolitik terbesar” abad ke-20.



Sekali lagi, membicarakan Gorby hanya dengan kacamata “demokrasi versus totalitarianisme” sepertinya harus segera dianggap klise. Ada isu kepemimpinan yang jauh lebih relevan untuk didiskusikan.


Apalagi, jika kita tinjau kembali, janji “Demokratizatsiya” Gorby sebenarnya bukanlah sebuah strategi dan agenda reformasi yang terukur, melainkan lebih mirip dengan jargon “Revolusi Mental” seperti yang pernah kita dengar lima tahun silam. Sebagai jargon, memang nyaring sekali gaungnya, tapi pelembagaan dan implementasinya tidak ada jejaknya sama sekali. Dalam kasus Gorby, demokratizatsiya bahkan bisa dianggap sekadar taktik politiknya untuk menjauhkan kekuasaan kepresidenan yang tengah dipegangnya dari pengaruh PKUS, yang bukan merupakan rahasia lagi, sebenarnya tak terlalu menyukainya.


Sebagai pemimpin, Gorby cukup jelas telah gagal mengambil pelajaran dari pengalaman pemimpin-pemimpin dunia lainnya. Ia mungkin telah berjasa meletakkan dasar-dasar demokrasi di tengah masyarakatnya, namun bubarnya Uni Soviet tidaklah termasuk di antaranya. Kecerobohan itu akan terus-menerus membayangi namanya.

https://kumparan.com/dipo-alam/gorba...R3IKxzkvj/full