Selasa, 02 Maret 2021

MIRAS DAN MUNAFIK.


Jokowi baru saja mengeluarkan izin produksi miras di empat wilayah, Sultra, NTT, Papua, dan Bali.

Seperti sudah di duga langsung para pengkavling surga angkat bicara, minta izin di batalkan. Perpres itu jelas pertimbangannya sesuai dgn kearifan lokal, artinya warga di wilayah tersebut mayoritas penduduknya tdk mengharamkan miras, alias non muslim.

Kalau mau jujur, pabrik bir di Indonesia itu sudah ada sejak tahun 1929 namanya Heineken yg didirikan Belanda di Surabaya kemudian thn 1960 menjadi perusahaan nasional dgn merk Bir Bintang dan Anker.

Saat ini ada 3 pabrik bir di Indonesia yaitu Multi Bintang, Delta Jakarta, dan Bali Hai. Kapasitas terpasang ketiganya konon mencapai 2,5 jt hekto liter, atau 250 jt liter per tahun dan Multi Bintang sebagai market leader memegang pangsa 61%. 

Jadi kalau ada orang songong komen soal minuman haram ini buat agamanya, ya gak usah diminum. Ini kan ibarat korupsi yg dicintai walau tak diridhoi. Biarkan pasar yg mengatur, ente yg sudah tau hukumnya haram ya tak usah ikut minum, tapi gubernur ngislam yg janji mau jual saham Angker bir, batal dan katanya malah nambah saham. 

Kualitas bir peoduksi Indonesia juga pernah meraih gold medal 2018 di London sebagai Leger Beer terbaik. Ini berarti potensi ekpornya besar utk bersaing pada international Beer market, khususnya Eropa.

Jadi gak usah munafiklah, garis batasnya jelas, mana halal haram, kelakuan abu² jgn belagu. Lagian Indonesia ini bukan negara Islam, jadi gak usah sok semua mau diatur halal haram, wong kelakuan ente saja banyak haramnya. Sana tanya sama Nisa Sabiyan.

Terima kasih pak Jokowi engkau telah memulai pemerataan industri sesuai potensi dan Indonesia timur memang harus segera di beri porsi.

Take a beer...

DETIK-DETIK MENJELANG KEJATUHAN DINASTI SBY DARI PARTAI DEMOKRAT


Oleh: Saiful Huda Ems.

Siapapun boleh meragukan kemampuan saya dalam memprediksi kejatuhan Dinasti SBY dari Partai Demokrat ini, namun sebelum ragu silahkan pelajari track record analisa politik saya terhadap peristiwa-peristiwa besar politik nasional, mulai dari kejatuhan Rezim Soeharto tahun 1998 hingga analisa terakhir politik saya mengenai kemenangan Capres Jokowi dalam Pilpres 2014 dan 2019. Saya memulai tulisan saya ini dengan pernyataan demikian, bukan bermaksud ingin gaya-gayaan atau sok-sok'an, melainkan untuk menjawab keraguan sebagian teman-teman saya yang saat ini menjadi Pengurus Partai Demokrat, yang sejak terbitnya tulisan pertama saya soal huru-hara PD awal Februari 2021 lalu mereka ragu dengan prediksi politik saya.

Terus terang, pada awalnya saya juga tidak terlalu menganggap serius dengan adanya manuver-manuver politik para pendiri PD yang menginginkan Kongres Luarbiasa (KLB), mengingat begitu dahsyatnya pengaruh SBY di PD khususnya ketika SBY masih menjabat Presiden RI selama dua periode, namun setelah saya cermati dan ikuti perkembangannya lebih jauh, waowww...sungguh ini sangat serius sekali ! Empat faksi pendiri Partai Demokrat (PD) yang menginginkan KLB itu bukan khayalan, melainkan benar adanya dan sangat serius sekali mereka berjuang untuk mewujudkannya ! Empat faksi itu juga sangat besar pengaruhnya dalam tubuh kepengurusan atau kader PD, dan mereka itu tidak hanya bagaikan akar pohon rindang tapi juga sekaligus ranting-ranting pohon itu sendiri yang selama ini turut menyangga dan menjaga pucuk pohon, yakni Dinasti SBY !.

Lalu bayangkan, jika kemudian sekarang mereka kompak bersuara untuk mendongkel AHY melalui KLB ! Bayangkan, jika kemudian sekarang mereka terang-terangan bersuara kompak melawan SBY dan berteriak Selamatkan Partai Demokrat dari politik dinasti, oligarki dan tirani ! Bayangkan pula, mereka yang kemudian kompak menemui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dan kompak meminta Moeldoko untuk menggantikan posisi AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat ! Bukankah ini sebuah perlawanan spektakuler para pendiri, pengurus dan kader PD itu sendiri yang selama ini diam-diam kesal dan marah pada SBY dan anaknya (AHY) yang dianggap sudah terlalu jauh menghancurkan PD melalui tangan besinya SBY?

Jhoni Allen sosok pendiri dan pelaku Partai Demokrat yang sangat populer di media disaat PD sedang jaya-jayanya bersuara menjelaskan ke publik dengan sangat gamblang, mengenai bagaimana peristiwa sesungguhnya yang terjadi di internal PD dari awal berdirinya hingga sekarang, detik ini ketika PD dalam puncak gunjang-ganjingnya ! Jhoni Allen (JA) bersama teman-teman sesama pendiri PD nya sangat nyata meminta agar PD tak lagi menjadi partai dinasti, oligarki yang terbukti sudah menjurus pada tirani. JA menjelaskan bagaimana kisah Kudeta dalam tubuh PD yang sesungguhnya pernah dilakukan sendiri oleh SBY ! "SBY tak pernah berkeringat, apalagi berdarah-darah dalam membangun PD. SBY masuk PD baru setelah PD dinyatakan lolos verifikasi KPU dengan memasukkan Ani Yudhoyono sebagai salah satu wakil ketua umum dengan menyumbang Rp. 100 jt !."

Masih menurut JA, "Kudeta SBY di PD terjadi pada Kongres II PD di Bandung tahun 2010, dimana Anas Urbaningrum yang saat itu terpilih sebagai Ketua Umum  secara demokratis kemudian tersandung persoalan hukum, namun statusnya belum dinyatakan sebagai tersangka, SBY sebagai Ketua Dewan Pembina PD dan Presiden RI mengambil kekuasaan Ketua Umum PD Anas Urbaningrum (AU) dengan cara membentuk Presidium dimana SBY srbagai ketua dan AU sebagai wakil ketua. Setelah AU jadi tersangka maka terjadilah KLB I atau Kongres III PD di Bali tahun 2013 untuk menjalankan sisa kepemimpinan AU hingga 2015, dimana SBY berjanji hanya akan meneruskan sisa kepemimpinan AU". 

Kongres IV PD di Surabaya tahun 2018 dilaksanakan, dalam kongres ini menurut JA, SBY telah merekayasa jalannya kongres agar SBY jadi calon tunggal Ketua Umum PD. Inilah ingkar janjinya SBY pada dirinya sendiri dan pada kader PD di seluruh Indonesia. Hal yang paling meresahkan para ketua DPD dan DPC PD di seluruh Indonesia menurut JA, adalah SBY membuat Peraturan Organisasi yang mengamputasi hak DPD dan DPC dengan mengambil iuran anggota Fraksi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk sebagian disetor kepada DPP dan hak penentuan Pemilihan Kepala Daerah tanpa ada pertanggung jawabannya.

Selanjutnya, pada Kongres V Partai Demokrat 15 Maret 2020 di Senayan Jakarta, SBY kembali merekayasa Tatacara Kongres yang tidak sesuai dengan yang semestinya. Pembahasan dan penetapan Tatatertib Acara tidak dilakukan, dimana salah satu isinya membahas syarat Tatacara Pemilihan Ketum. Selain itu tidak ada Laporan Pertanggungjawaban dari Ketum SBY. Setelah pidato Ketum SBY, Peserta Kongres yang tidak punya suara diusir keluar arena Kongres. Semestinya seluruh Peserta Kongres memiliki hak bicara, padahal hak suara hanya digunakan pada saat Pemilihan Ketum atau jika terjadi Perbedaan Pendapat. 

SBY pun mendesign seluruh Ketua-Ketua DPD seluruh Indonesia untuk mendiklir AHY menjadi Ketum PD yang mereka sebut dengan aklamasi. Makanya AHY berada di puncak gunung tapi tidak pernah mendaki. Oleh sebab itu --masih menurut JA-- AHY sebagai Ketum tidak tau cara turun gunung sehingga bapaknya sendiri (SBY) yang turun gunung. Inilah yang menurut JA dkk. nya disebut dengan KRISIS KEPEMIMPINAN PARTAI DEMOKRAT, hingga KLB merupakan Solusi Konstitusional untuk mengembalikan PD sebagai partai yang demokratis, terbuka dan modern !".

Hemmm...bagaimana pendapat kita sebagai sesama anak bangsa yang selama ini berharap banyak pada partai politik di negeri ini agar dapat menjadi wadah pendidikan politik yang baik bagi generasi bangsa, sedangkan pada kenyataannya tokoh politik yang pernah menjadi Presiden dua periode di negeri ini, yakni SBY malah memberi contoh yang buruk bagi kita melalui skandal kepemimpinannya di Parpol PD seperti yang dituturkan oleh para pendirinya itu? Kasus manajemen kepemimpinan parpol yang buruk seperti itu, menurut saya haruslah kita koreksi bersama, karena hal itu bukan hanya menyangkut persoalan internal Partai Demokrat, melainkan juga sudah menjadi bagian dari persoalan bangsa dan negara ini, sebab keteladanan kepemimpinan Parpol yang buruk akan berimbas pada buruknya kualitas politisi-politisi bangsa yang sudah dan akan dimunculkan darinya, dari Partai Demokrat yang masih dikuasai Dinasti SBY !

Dan mencermati dengan seksama pernyataan demi pernyataan yang dipublish oleh para pendiri dan pengurus PD seperti Jhoni Allen, Marzuki Alie dll.nya yang mengungkap secara gamblang bagaimana kotornya permainan politik SBY dan AHY hingga membuat para pengurus dan kader-kader internal PD sendiri marah dan menginginkan adanya KLB, maka pantaslah jika kemudian AHY harus merengek-rengek pada Presiden Jokowi untuk memberi perhatian pada kisruh internal PD, padahal Presiden Jokowi sama sekali tidak tau apa-apa soal internal PD. Menjadi pantas pula, mengapa SBY kemudian harus turun gunung untuk meredam gejolak internal PD demi melindungi posisi anaknya (AHY) sebagai Ketum PD. Dan bukankah itu sudah sangat nyata, bahwa jika penghuni hutan sudah turun gunung untuk meminta belas kasihan, itu artinya sebuah pertanda bahwa hutan sedang kebakaran dan ia sudah benar-benar sedang terancam dan sebentar lagi terjungkal ! Ini rumus politik tingkat dasar, jika kalian tak setuju itu artinya kalian baru menjadi politisi pemula yang jam terbangnya masih rendah. Detik-detik menjelang kejatuhan dinasti SBY dari Partai Demokrat akan segera tiba, tunggu saja !...(SHE).

1 Maret 2021.

Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pemerhati Politik.

CEK JUMLAH KUOTA BELAJAR KEMENDIKBUD 2021, INI DAFTARNYA


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menyalurkan kembali bantuan subsidi kuota belajar gratis kepada pelajar dan tenaga pengajar. Berbeda dengan periode sebelumnya, jumlah kuota yang diberikan kali ini lebih sedikit.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nadiem Makarim mengatakan kuota belajar akan diberikan selama periode Maret–Mei 2021. Kuota akan diberikan setiap 11–15 atau pada pertengahan bulan, dengan masa aktif kuota selama 30 hari.

“Kami akan memberikan kuota dengan GB yang lebih kecil daripada kuota belajar sebelumnya, tetapi semuanya ini adalah kuota umum sehingga bisa untuk mengakses seluruh laman dan aplikasi, kecuali yang diblokir,” kata Nadiem dalam konferensi virtutal, Senin (1/3/2021).

Pada subsidi kuota internet 2021, peserta didik PAUD akan mendapat kuota umum sebesar 7GB, peserta didik jenjang pendidikan dasar dan menengah mendapat kuota sebesar 10GB.

Kemudian pendidik PAUD dan pendidikan jenjang dasar dan menengah mendapat kuota sebesar 12GB. Terakhir, dosen dan mahasiswa mendapat kuota sebesar 15GB.

“Ini kuota umum, maka YouTube sudah bisa diakses dan ini kabar gembira karena banyak materi yang berada di YouTube,” kata Nadiem.

Nadiem mengatakan dengan hanya memberikan kuota umum, masyarakat dapat lebih fleksibel dalam mendapat informasi. Kebijakan ini diambil berdasarkan masukan yang diterima dari sejumlah masyarakat.

Nadiem mengatakan penerima bantuan kuota belajar adalah nomor-nomor yang menerima bantuan pada November–Desember 2020.

Sekadar informasi, berdasarkan data verifikasi dan validasi nomor ponsel Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) per November 2020, jumlah peserta didik penerima bantuan subsidi kuota – dengan parameter nomor yang dimiliki sesuai dengan format nomor ponsel dan aktif – mencapai 34.085.658 orang.

Adapun saat itu, besaran kuota belajar yang diterima oleh peserta didik dan tenaga pengajar adalah sebagai berikut;

Siswa/siswi PAUD sebesar 20GB/ bulan (5GB kuota umum dan 15GB kuota belajar)

Siswa/siswi SD sebesar 35GB/ bulan (5GB kuota umum dan 30GB kuota belajar)

Siswa/siswi SMP sebesar 35GB/ bulan (5GB kuota umum dan 30GB kuota belajar)

Siswa/siswi SMA, SMK sebesar 35GB/ bulan (5GB kuota umum dan 30GB kuota belajar)

Tenaga pengajar PAUD, SD, SMP dan SMA/SMK sebesar 42GB/ bulan (5GB kuota umum dan 37 GB kuota belajar)

Mahasiswa/mahasiswi sebesar 50GB/ bulan (5 GB kuota umum dan 45GB kuota belajar)

Dosen sebesar 50GB/ bulan (5 GB kuota umum dan 45GB kuota belajar)
 
https://www.google.com/amp/s/m.bisnis.com/amp/read/20210301/101/1362179/cek-jumlah-kuota-belajar-kemendikbud-2021-ini-daftarnya

MULAI BERLAKU 1 MARET, SIMAK KETENTUAN DISKON PPN RUMAH


Pemerintah resmi meluncurkan kebijakan stimulus relaksasi pajak pertambahan nilai (PPN) pembelian rumah sebesar 50 persen sampai dengan 100 persen untuk mendongkrak daya beli masyarakat.

Untuk dapat menikmati kebijakan yang mulai berlaku hari ini, Senin (1/3/2021), hingga 31 Agustus 2021 itu, pemerintah telah menentukan sejumlah ketentuan.

Pertama, relaksasi atau diskon PPN hanya diberlakukan untuk rumah tapak dan susun dengan nilai maksimal sebesar Rp 5 miliar.

Besaran diskon PPN terbagi menjadi dua, yakni sebesar 100 persen atau dibebaskan untuk pembelian rumah dengan nilai maksimal Rp 2 miliar, dan diskon sebesar 50 persen untuk rumah nilai Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar.

Selain itu, kebijakan ini hanya berlaku untuk pembelian rumah yang sudah tersedia pada periode pelaksanaan, yakni Maret hingga Agustus mendatang.

Dengan demikian, aturan ini tidak berlaku untuk unit rumah tapak atau susun yang masih dalam tahap pengembangan maupun pengembangan.

Selengkapnya: https://amp.kompas.com/money/read/2021/03/01/200040326/mulai-berlaku-hari-ini-simak-ketentuan-diskon-ppn-rumah

Beda Traveler dan Backpacker, Wajib Tahu Sebelum Liburan

 Beberapa tahun terakhir, menjadi seorang traveler dan backpacker sudah seperti gaya hidup yang menarik.


Bukan hanya bepergian menghabiskan waktu atau uang, tapi justru menjadi kebutuhan penting bagi setiap orang untuk ‘nabung pengalaman’ di sepanjang perjalanan.

Beberapa orang bahkan melakukan traveling atau backpacking sekaligus menambah pundi-pundi penghasilan seperti yang dilakukan YouTuber dan travel blogger.

Memang keduanya tidak sama, tapi traveler dan backpacker bisa menjadi pengalaman yang unik dan sangat berkesan.

Traveler bisa berarti jalan-jalan yang lebih umum dan suasananya santai 
Beda Traveler dan Backpacker, Wajib Tahu Sebelum Liburan

Saat memasuki waktu liburan entah itu untuk anak-anak sekolah, mahasiswa, atau para pekerja kantoran pastinya ingin mengisi waktu untuk sejenak pergi dari rutinitas. Traveling ke sebuah tempat bisa jadi pilihan.

Traveler cenderung melakukan aktivitas jalan-jalan yang lebih umum dan suasananya cenderung santai.

Mereka bisa menikmati beberapa magnet wisata sekaligus seperti kuliner, berbelanja oleh-oleh, dan berfoto-foto dengan teman-teman yang pergi bersama.

Jika perlu menginap, maka bisa booking penginapan di dekat tempat wisata. Seperti orang jalan-jalan pada umumnya, pasti ada destinasinya, entah itu diatur sendiri atau dibantu oleh travel agent.

Tapi, traveler tidak banyak mengeksplor tempat-tempat unik dan asing seperti yang dilakukan backpacker.

Traveler pada umumnya lebih fleksibel soal akomodasi dan budget perjalanan
Beda Traveler dan Backpacker, Wajib Tahu Sebelum Liburan

Perjalanan traveler memang cenderung bersifat kesenangan (leisure) tanpa harus putar otak masalah budget.

Mulai dari wisata kuliner, berbelanja oleh-oleh, mengunjungi tempat-tempat wisata terkenal, menginap di hotel, dan transportasi bagi traveler perlu mengutamakan kenyamanan.

Karena itulah, budget perjalanannya bisa lebih fleksibel dan lebih besar daripada backpacker. Segala keperluan untuk perjalanan bisa dipersiapkan jauh-jauh hari, apalagi kalau perginya sampai menginap beberapa hari.

Perjalanan yang nyaman juga dipengaruhi oleh kendaraan yang dipilih. Selain nyaman, pastinya juga aman dan tepat waktu untuk sampai tujuan.

Kendaraan di sini berlaku untuk keberangkatan maupun saat sudah sampai di tujuan untuk keliling kota. Traveler lebih fokus pada akomodasi yang nyaman.

Backpacker lebih ekonomis soal budget memilih akomodasi yang lebih sederhana
Beda Traveler dan Backpacker, Wajib Tahu Sebelum Liburan

Perbedaan yang sangat mencolok antara traveler dan backpacker adalah urusan budgetBudget di sini akan berpengaruh pada transportasi, akomodasi, penginapan, makan minum, dan segala keperluan di perjalanan.

Soal barang bawaan, backpacker juga lebih praktis karena hanya dengan membawa satu ransel besar sudah cukup membawa bekal yang dibutuhkan. Bagaimana dengan penginapan? Backpacker juga bisa lebih sederhana.

Tidak harus menginap di hotel, malah di rumah warga lokalpun bisa saja, asal diizinkan. Justru di sinilah seninya bagi backpacker, menemukan orang baru di perjalanan adalah kebahagiaan tersendiri.

Tidak sedikit yang memilih bermalam di stasiun atau terminal yang punya ruang tunggu luas dan bisa untuk istirahat sejenak.

Backpacker punya tujuan spesifik dan suasananya lebih menantang
Beda Traveler dan Backpacker, Wajib Tahu Sebelum Liburan

Tentang tujuan perjalanan, backpacker bisa dibilang lebih spesifik dan punya kebebasan untuk memilih tempat mana saja yang akan dikunjungi.

Saat sudah sampai di sebuah kota tujuan beserta peta di tangan, backpacker bisa memilih untuk eksplorasi dengan cara apa.

Mulai dari kendaraan umum, sewa motor atau sepeda, jalan kaki, atau bahkan yang agak ekstrem seperti menumpang truk, semuanya bebas.

Backpacker memang lebih banyak tantangannya, sehingga sangat cocok untuk yang berjiwa petualang dan punya stamina fisik yang kuat.

Masalah penampilang pun tidak terlalu jadi pertimbangan bagi backpacker, yang penting nyaman dan masih sopan. Biasanya asesorisnya juga tidak banyak, hanya topi dan kadang kacamata hitam.

Traveler dan backpacker memang beda dan keduanya punya sensasinya tersendiri
Beda Traveler dan Backpacker, Wajib Tahu Sebelum Liburan

Entah itu traveler atau backpacker, memang masing-masing bisa menjadi pilihan liburan yang menyenangkan.

Traveler banyak dipilih karena lebih santai, nyaman, dan tidak perlu pusing soal budget perjalanan karena memang persiapannya lebih banyak.

Backpacker juga disukai karena lebih hemat budget dan lebih menantang di sepanjang perjalanan. Menjadi traveler atau backpacker bisa jadi suatu opsi menarik untuk bisa refreshing dari rutinitas.

Keduanya sama-sama melakukan perjalanan wisata yang tujuannya untuk mendapatkan kesenangan. Masing-masing orang pasti punya gaya berbeda-beda untuk jalan-jalan atau liburan.

Entah itu traveling mewah atau backpacking dengan dana pas-pasan, masing-masing punya sensasi tersendiri.

Jadi bagaimana sekarang? Setelah memahami beda traveler dan backpacker, sudah tahu mana gaya liburan yang lebih kamu sukai?

Senin, 01 Maret 2021

Artidjo Alkostar SEBUAH KITAB KEADILAN


Oleh Hamid Basyaib

Gambaran apa yang muncul di benak Anda setiap mendengar profesi pengacara dan kepengacaraan? Apapun citra itu, Artidjo Alkostar menghancurkannya berkeping-keping. 

Sebagai pengacara hingga akhir 1990an, berkantor di bangunan semi-permanen berdinding gedek di pinggiran Jogja, ia tak pernah merundingkan biaya jasa kepada kliennya. Suatu kali seorang klien yang perkaranya menang, kebingungan. Ia merasa harus berterima kasih atas layanan hukum Artidjo. Ia berasal dari Madura, dan tinggal di Kulonprogo. Jika memberi uang, ia kuatir jumlahnya terlalu kecil dan bisa menyinggung perasaan si pengacara. Untuk memberi honor besar, ia tak punya cukup uang. Tiadanya kesepakatan mengenai besaran fee membuatnya repot dan serba salah. 

Akhirnya ia mendapat ide cemerlang: ia akan memberi sepotong jimat sebagai imbalan kepada si pengacara yang ia duga menyukai hal semacam itu, mengingat latar-belakang komunitas dan daerahnya, Madura-Situbondo. "Saya bilang kepada dia, kamu bawa pulang saja barang milikmu ini," tutur Artidjo kepada kawan-kawannya dengan terkekeh. "Saya tidak percaya dengan jimat-jimatan." 

Bagi Artidjo, jasa hukum bukanlah hal yang pantas dirundingkan, apalagi dengan tawar-menawar. Jika klien puas dengan layanan  jasanya, mereka boleh membayar seikhlasnya. Bila mereka tak membayar, tidak mengapa. 

Seorang dosen yang menjadi kliennya sangat bahagia karena menang di pengadilan. Dua mantan mahasiswa Artidjo yang bekerja di firma hukumnya berinisiatif menagih bayaran kepada klien yang gembira itu. Ini hal yang sepenuhnya lumrah. Semua orang mafhum belaka dengan adat istiadat di dunia bisnis jasa seperti lawyering, yang kemahalannya justeru cenderung dimaklumi. 

Dua pengacara muda itu sangat terkejut menerima akibat tindakan normal mereka. Si klien menelepon Artidjo dan memberitahu soal penagihan biaya pengacara. Artidjo kontan memecat dua pengacara itu. "Mereka bikin malu," katanya. "Kalau klien mau membayar, silakan saja. Tapi jangan ditagih-tagih!"

Meski kantor hukumnya sulit dibedakan dari yayasan amal, tak banyak klien yang meminta jasanya untuk mewakili mereka. Mereka tahu: jika menyerahkan perkara kepadanya, mereka harus lebih siap untuk kalah daripada menang. Mereka tahu: Artidjo tidak disukai oleh semua instansi hukum maupun lembaga-lembaga lain, sebagai ekor dari aksi-aksi pembelaan heroiknya yang "nekat" terhadap para korban "penembakan misterius" (petrus, pertengahan 1980an; suatu aksi ekstralegal di seluruh Indonesia yang dimulai di Jogja). 

Waktu itu ia direktur LBH Jogja, dan gencar mengecam tindakan ekstralegal yang sepenuhnya menginjak-injak tatanan hukum -- mayat para preman setiap hari ditemukan warga di sungai, sudut jalan dan tempat-tempat terbuka, dengan kepala dan tubuh penuh lubang peluru, setelah mereka diculik dari rumah atau diringkus di tempat-tempat hiburan. Tidak ada pihak yang menyatakan diri sebagai pelaku pembunuhan biadab itu, tapi Artidjo, seperti semua orang, tahu siapa yang memiliki kemampuan untuk melakukan operasi bersenjata semacam itu. 

Beberapa preman berhasil dilindungi dan diselamatkannya -- tindakan yang bagi hampir semua rekan seprofesinya tak terbayangkan untuk mereka sendiri lakukan. Ia tak pernah menunjukkan sikap sebagai pengacara yang paling berani. Tapi siapapun yang mengenalnya cukup dekat tahu: ia selalu mampu mengatasi rasa takutnya. 

Bahkan di masa yang genting dan mencekam itu, ia tak mengubah kebiasaannya: pergi ke mana pun dengan motor bebek dan tas kecil di pundak; bukan tanpa sadar bahwa ia selalu mungkin ditabrak oleh mobil besar “orang tak dikenal.” 

Pernah saya tanya: apakah ada pihak yang mengancamnya karena tidak menerima putusan-putusannya sebagai hakim? "Tidak ada," katanya. "Kalau sampai ada, saya akan balik mengancamnya dan saya akan kejar dia hingga tujuh turunan!" 

Sikap seperti itu bukan bentuk keberaniannya, tapi ekspresi keyakinan bahwa putusan apapun yang dibuatnya adalah atas dasar kebenaran hukum. Jika untuk itu ia harus menanggung harganya, ia tidak akan pernah segan untuk membayarnya. Dalam bentuk apapun. 

Ia membuka praktik pribadi seusai pensiun dari LBH dan setelah drama petrus berakhir. Citranya sebagai pengacara penentang aksi ekstralegal brutal itu terbentuk kuat, dan membuat calon klien menghindarinya. Beberapa kali saya mengunjungi kantornya, dan jadi mengerti bahwa ada alasan tambahan bagi klien untuk menghindarinya: satu-satunya yang menonjol di sana adalah timbunan koran tua, yang sebagian sampai menyundul plafon. Kondisi meja kerja dan ruang rapatnya jauh sekali dari kenormalan kantor sejenis. 

***

Sikap tak mau meminta ia ulangi ketika ia diangkat menjadi hakim agung pada awal 2000. Kami mengunjungi rumah kontrakannya di sebuah gang sempit di Kwitang -- disediakan oleh beberapa mahasiswanya -- dan saya terkejut karena kami harus duduk di lantai beralaskan tikar. Ia minta maaf karena belum sempat membeli kursi. Ia pergi-pulang ke kantor Mahkamah Agung dengan menumpang bajaj. 

Ketika saya rasa saatnya tepat, saya mulai "memprotes". Tidak pantas seorang hakim agung tinggal di gang sempit dan naik bajaj, saya bilang. "Saya dengar ada jatah rumah dan mobil dari kantor," katanya dengan datar. "Tapi saya tidak mau menghadap pejabat yang mengurusnya untuk meminta-minta. Kalau memang jatah itu ada, berikan saja. Tanpa perlu saya minta." 

Si pejabat rupanya sengaja menciptakan situasi yang mengharuskannya menghadap dan memohon; membuat Artidjo, sebagai "anak baru" yang wajib tahu diri dan harus tahu siapa yang berkuasa di instansi itu, berada dalam posisi "di bawah". Pejabat itu, saya masih ingat namanya karena Artidjo menyebutnya, tidak tahu dia sedang berhadapan dengan manusia jenis apa. 

Belakangan jatah apartemen itu ia dapatkan, dan ditempatinya hingga ia pensiun 18 tahun kemudian. Selama masa yang panjang itu, dalam obrolan ia tak pernah sekali pun menyinggung soal keinginan memiliki rumah baru, baik di Jogja apalagi di Jakarta. 

Ia mengisyaratkan apartemen fasilitas negara yang dinikmatinya sudah lebih dari cukup. Rumah kecilnya di kompleks sederhana di Sidoarum, Jogja, yang mulai dicicilnya 40 tahun lalu, dengan perabot yang tak berganti, pun tetap sama. 

Artidjo juga kemudian pergi-pulang ke kantor dengan mobil. Tapi saya tak tahan untuk tak mengusiknya. Mobil kecil buatan Korea itu tampak ganjil dan kocak karena bersupir. Saya bilang, pakailah mobil yang lebih layak bagi seorang hakim agung; tidak perlu mewah. Sebuah mobil menengah yang cukup besar tentu lebih pantas. Ia bilang, jatah uang mobil dari kantor hanya cukup untuk membeli mobil mini bekas itu. Saya dan kawan-kawan merasa percuma berdebat dengan dia tentang hal-hal yang menyangkut kelayakan hidup bagi pejabat negara setinggi dia. 

Ia memiliki berpuluh-puluh mantan mahasiswa dan junior yang menjadi pengacara sukses, yang mengenal dan dikenalnya dengan baik. Dan tak ada seorang pun yang berani menyinggung kasus yang sedang mereka tangani, jika kasus itu ia sidangkan di tingkat kasasi di Mahkamah Agung. 

Ia tak pernah eksplisit menyatakan sikapnya, tapi mereka semua bisa menangkap sinyal yang kadang dikirimnya: jika klien dari pengacara alumni UII memang bersalah, atau kasusnya terkait dengan figur HMI (organisasi yang ia banggakan dan selalu ia jaga integritasnya dengan caranya sendiri), ia akan menjatuhkan hukuman lebih berat. 

Baginya, predikat keislaman yang juga sangat dekat dengan emosinya itu wajib dijaga ekstraketat, dan karena itu pelanggarannya pun harus dihukum ekstraberat. Semua maklum belaka atas ketentuan tak tertulis dan tak pernah dibicarakan terbuka ini -- dan tak ada yang cukup punya nyali untuk menawar atau memohon sejenis kompromi kepada Artidjo. 

***

Setelah pensiun pada 2018, ia mengatakan tidak akan kembali ke habitat lamanya, dunia hukum, dalam kapasitas apapun. Ia ingin jadi petani di desa. Sejak lama ia memang gemar merawat bonsai dan memelihara ayam pelung. Dulu ia kadang membawa sendiri, dengan menumpang kereta api, beberapa ekor ayam yang memikat itu untuk hadiah bagi kawan-kawannya di Jakarta. Tapi bangsa Indonesia menilai ada tempat yang lebih patut dan diperlukan darinya daripada bertani. Ia kemudian menerima amanat baru: anggota Dewan Pengawas KPK. 

Sebagai praktisi dan dosen Hukum Pidana, Artidjo tak pernah kehilangan minat akademisnya. Sejak pertama kali saya mengenalnya empatpuluh tahun silam, ketika ia memimpin lembaga penelitian di Fakultas Hukum UII dan sibuk mengikuti pelatihan riset oleh Himpunan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) -- ia meneliti kaum tuna wisma, dan menerbitkan buku "Gelandangan: Insan Kesepian di Tengah Keramaian" -- ia tak berubah. Ia selalu menghargai ikhtiar keilmuan, selalu respek pada pencapaian prestasi keilmuan. 

Dalam usia tak lagi muda, ia berangkat ke Universitas Columbia, Amerika, untuk berlatih menjadi pengacara hak-hak azasi manusia -- pusat perhatiannya sepanjang hayat. Ia juga studi S2 di universitas lain di sana, lalu mendapat doktor hukum di Universitas Diponegoro dalam usia 59. 

Saya bangga pernah mendirikan Lembaga Pembela Hukum (LPH) bersamanya dan tiga kawan lain, untuk menampung para calon pengacara yang tak kebagian tempat berlatih di LBH dan LKBH FH-UII. Selama lima belas tahun pertama aktifitas LPH,  tampaknya lembaga itu cukup sukses menjalankan misinya dan mencetak sejumlah pengacara andal. 

Dunia boleh berubah setiap minggu, setiap tahun, setiap satu dekade, tapi Artidjo tidak. Dalam posisi apapun, menetap di mana pun, ia tetaplah sebuah monumen kejujuran dan sikap pantang menyerah. Dan ia tak pernah mengeluhkan situasi. Ia tahu betul betapa parah dunia hukum kita, sampai kadang menggoda banyak orang untuk putus asa. 

Tapi baginya berputus asa adalah puncak kesia-siaan sikap. Selalu mengupayakan perbaikan tanpa henti, dengan segenap daya terkecil yang ada -- inilah sikap yang tak pernah surut dipegangnya. "Yang perlu kamu lakukan hanya berusaha sebaik-baiknya," katanya selalu kepada mahasiswanya. "Jangan pikirkan hasilnya. Itu bukan urusan kita. Fokus saja pada ikhtiarnya."

Ia yang seumur hidup tak pernah kelebihan berat badan, mengidap problem jantung dan paru-paru menahun, dan tetap menolak keras dirawat di rumah sakit. Tiga mantan mahasiswanya yang telah dianggapnya sebagai anak -- Ari Yusuf Amir, Sugito Atma Pawiro dan Kun Wahyu Wardhana -- tak pernah lelah membujuknya untuk berobat secara layak. Setiap dua-tiga minggu sekali, mereka membawanya ke rumah sakit. 

Pada Selasa, 23 Februari, untuk ke sekian kalinya mereka membawanya, dan kali ini dokter bersikeras memintanya dirawat di sana karena kapasitas jantungnya dinyatakan tinggal 31 persen. Ia tetap menolak. Ia masih bisa makan enak, dan tiap hari masih bisa bekerja, katanya, menyanggah desakan untuk dirawat. 

Lima hari kemudian, pada pukul 9 pagi, supirnya mengetuk pintu apartemennya. Tak ada sahutan. Mungkin ia sedang beristirahat. Di hari Minggu ini tak ada kegiatan yang mendesak. Lima jam kemudian, karena tiada tanda-tanda kehidupan di apartemen pinjaman KPK di Kemayoran itu, dan anak kunci menancap di lubangnya, sejumlah orang mendobrak pintunya. Terlihat ia terkulai di tempat tidurnya. 

Kebisingan sejumlah orang yang berkerumun di kamar tidurnya tak membuatnya bereaksi. Ia rebah seorang diri dengan mata terpejam, jauh dari isterinya yang menetap di Semarang, tanpa anak. Tampaknya ia terkena serangan jantung yang keras, lebih keras daripada yang memukulnya enam bulan lalu di tempat yang sama. 

Mata saya terasa hangat, dan saya mengatupkannya, merelakan kepergian Bang Artidjo, seorang guru dan sahabat yang telah menyajikan begitu banyak teladan hidup yang amat mengesankan. Sebuah tonggak integritas berusia 72 tahun 9 bulan, yang kadang membuat saya malu karena terlalu sedikit contoh yang disuguhinya tanpa dia maksudkan untuk saya tiru, yang bisa saya tiru.

***

Ia lebih dari memenuhi syarat untuk mendapat tempat di makam pahlawan. Selama belasan tahun membereskan hampir duapuluh ribu perkara di Mahkamah Agung, bahkan tanpa menghitung masa puluhan tahun sebelumnya sebagai orang yang tak henti memperjuangkan keadilan, kehadirannya memercikkan sedikit harapan bahwa keadilan memang sesuatu yang mungkin terwujud di tanah air. 

Tapi ia tak mungkin dimakamkan di Kalibata. Ia tak pernah mengurus segala macam syarat administratif dan birokrasi yang memungkinkannya dikuburkan di sana. Ia tetap dia yang dulu: tak pernah menganggap penting segala macam predikat, apalagi status pahlawan bangsa. 

Sepanjang hidupnya ia mengamalkan kejujuran dan integritas tak kenal ampun. Bahkan kematiannya pun memahat sebuah prasasti keihklasan. ***

KERUMUNAN; MENYOAL MAUMERE DAN PETAMBURAN


Jokowi adalah seorang presiden, bukan rakyat biasa. Siapapun boleh tidak suka terhadap presiden, tapi yang harus disadari adalah yang suka tentunya jauh lebih banyak dari yang membencinya. Kekuatan elektoral yang jauh lebih besar itulah yang menjadikan Jokowi seorang presiden. Kemunculan Jokowi lalu membuktikannya. Kerumunan besar tak terhindarkan tanpa harus diundang, ada magnet yang menarik orang untuk datang sedekat mungkin. Konstruksi kerumunan di Maumere dimulai dari sini. Jika ada yang melaporkan itu ke polisi tentu saja akan ditolak.

Jokowi seorang presiden, secara tataran politik kenegaraan sama sekali berbeda dengan orang biasa seperti Riziq Syihab, misalnya. Membandingkan kasus per kasus terhadap seorang presiden dengan melaporkannya ke Bareskrim Polri adalah suatu kesalahan mendasar. Jika mau seharusnya melakukan "clash action" secara perdata - dan Jokowi pernah dikalahkan secara hukum dalam kasus Karhutla, BPJS dan pemadaman internet di Papua.

Jokowi punya kekebalan hukum? Iya, jelas. Sebagai kepala negara, siapapun tentu saja tidak mudah untuk memperkarakannya. Kecuali atas kejahatan luar biasa yang menyalahgunakan kekuasaan dan membahayakan kedaulatan entitas negara yang dipimpinnya. Anda yang tidak suka dengan fakta ini silakan iri, seiri-irinya. Apalagi membandingkan dengan kasus Petamburan - yang bukan hanya pelanggaran Prokes tapi juga terdapat pelanggaran hukum lainnya - tentu saja tidak "apple to apple."

Pada akhirnya, sebuah pelanggaran hukum atas kerumunan juga harus dilihat dari konstruksinya. Jika anda berkerumun karena minum kopi, atau menonton kebakaran, anda tidak akan diperkarakan secara hukum - setidaknya hanya akan dibubarkan. Kecuali anda mengundang ribuan orang untuk mendengarkan hasutan, itu lain cerita.

"Equality before the law" bukanlah "mata dibayar mata", tapi asas keadilan berdasar prosedur hukumnya masing-masing. Hukum juga tidak boleh hanya bermodal rasa benci, ia harus "serenitatem pro populo": memberi ketenangan bagi masyarakat luas.

[Islah Bahrawi]