Minggu, 13 Desember 2020

Menguak Misteri Manusia Bawa Panah Naik Gajah di Gedong Kirtya

 


KUNO : Gapura Gedong Kirtya saat diresmikan 14 September 1928 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tempat naskah kuno ditata rapi, sehingga mudah menemukan yang dicari. (Dian Suryantini/Bali Express)





CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI



SINGARAJA, BALI EXPRESS-Naskah kuno yang sangat berguna di bidang keilmuan berupa lontar pada zaman Belanda, hingga kini banyak tersimpan rapi di Gedong Kirtya, Jalan Veteran 20, Singaraja.


Gedong yang diresmikan pada 14 September 1928 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda ini, dahulunya dinamai Gedong Lifrind Vandertook.


Dijelaskan Dosen Sejarah Undhiksa, I Made Pageh, ide mengabadikan semua daun lontar yang berisikan tentang cerita dan ilmu pengetahuan itu, muncul dari cendekiawan Belanda, yakni F.A Lifrind dan Vander Took.


Keduanya merupakan penyelidik kebudayaan, adat istiadat dan bahasa Bali. Ide ini kemudian disambut Residen Bali dan Lombok dan juga cendikiawan Belanda L.J.J Caron, hingga terwujudlah pertemuan di Desa Kintamani, Kabupaten Bangli. 

Dari pertemuan itu terbentuk sebuah yayasan tempat penyimpanan lontar atau manuskrip. Yayasan lontar ini digalang Doktor Poerbadjaraka, Doktor WR Staterhaem, Doktor Goris, Doktor Pighaen dan Doktor Sheehoikess. 

Para cendekiawan ini dibantu pinandita dan raja-raja se-Bali. Mengingat kala itu Singaraja merupakan sebuah Ibukota Provinsi Sunda Kecil, maka yayasan itu didirikan di Buleleng pada 2 Juni 1928. 

“Kalon adalah seorang residen Bali-Lombok pada saat itu, dia mendirikan Gedong Kirtya itu dalam usahanya menghargai jasa seorang cendikiawan Belanda yang banyak melakukan penelitian, penyelidikan, dan kajian tentang Bali, yaitu dua tokoh besar yang dihormati itu adalah F.A Lifrind dan Vander Took,” jelasnya.

Di samping itu, pendirian Gedong Kirtya juga untuk menghormati tokoh besar yang banyak melakukan penelitian ini. Seperti kajian dan penelitian di bidang kebudayaan Bali, bahasa Bali, adat istiadat Bali. Sehingga muncul keinginan dari Caron untuk mengumpulkan hasil kajian guna dijadikan bahan pelajaran, sehingga lebih monumental. 



Hasil-hasil budaya, terutama artefak yang berupa lontar, tutur, dan sebagainya yang memang dijadikan pedoman hidup oleh orang Bali dikumpulkan di Gedong Kirtya, terutama adalah lontar-lontar yang tersebar di daerah Bali dan Lombok. 

Bali dalam artian umum, baik Bali Utara maupun Bali Selatan, Lombok terutama yang banyak di Lombok Barat, termasuk lontar-lontar yang tertulis dalam bahasa Sasak. 

“Tiga bulan kemudian, yaitu pada 14 September 1928 baru diresmikan penggunaannya secara resmi oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang ada di Batavia pada saat itu. Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia (Jakarta) datang ke Bali untuk meresmikan,” tuturnya.

Pageh menjelaskan, perubahan nama Gedong Lifrind Vandertook menjadi Gedong Kertya, tak lain karena orang Bali kesulitan melafalkan nama asing. Hasil-hasil kajian akademis, termasuk hasil-hasil sumber ilmu pengetahuan tradisional dalam bentuk lontar dan tutur, sesungguhnya memang mulanya diberi nama Gedong Lifrind Vandertook. 

"Tetapi ketika Buleleng diperintah seorang Raja Gusti Putu Jelantik dari tahun 1937 atau 1940-an, maka kata Gedong Lifrind Vandertook itu ditambah dibelakangnya dengan kata Kirtya. Kirtya (Kerthi) yang artinya Yasa. Nangun Kerthi artinya Nangun Yasa, Miasa. Lambat laun akhirnya menjadi Gedong Kirtya. 

“Itu mungkin berkaitan dengan lidah Bali yang tidak terbiasa dengan kata asing. Umumnya membuang yang likad (sulit) untuk dibicarakan, sehingga diperpendek menjadi Gedong Kirtya. Gedong sudah popular di masyarakat, Kirtya lebih popular lagi. Sedangkan Vandertook hanya beberapa orang mungkin yang kenal,” katanya.

Nah, jika diperhatikan pada bagian pintu gerbang (angkul-angkul) Gedong Kirtya terlihat pahatan manusia menaiki gajah dengan busur panah di tangannya, kemudian membunuh musuhnya, dan orang yang kena panah itu pun mati. Gambar ini diperlihatkan dengan monogram atau Chandra Sengkala. 

Adapun makna simbol gambar tersebut diantaranya bahwa manusia merupakan simbol angka satu, gajah simbol angka delapan, panah simbol angka lima, dan orang mati nilainya 0. Jadi, kalau dibaca tahun Icakanya adalah Icaka 1850. 

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

“Kalau kita masuk Gedong Kirtya itu, kanan kiri di pintu masuk tergambar manusia menunggang gajah. Manusia yang menunggang gajah itu memegang busur panah yang anak panahnya mengenai manusia yang tergambar di pintu sebelahnya, sehingga manusia itu mati," urainya.

Kalau itu diartikan ke tahun Caka, lanjutnya, maka akan menjadi manusia bernilai satu berasal dari manu, manah atau pikiran, satu. Setelah itu, gajah asta, asti. Ingat istilah Karang Asti atau Karang Gajah? Asta itu sama dengan delapan. Kemudian panah itu lima sama denga Panca. Panah itu diambil dari Panca Tirta. Sedangkan orang mati itu 0. Sehingga mejadi 1850 Caka. 

Jika itu dibawa ke Masehi, maka ditambah 78 menjadi 1928. Dan, itu adalah tonggak sejarah. "Namun sayang saat ini gambar tersebut tidak ada, sudah dicat,” paparnya.

Diakuinya, dahulu banyak yang beranggapan ketika memasuki Gedong Kirtya, maka dianggap berkeinginan untuk melajah ngaleak, melajah dadi balian. 

"Itu merupakan anggapan kuno dan tidak modern. Karena sesungguhnya banyak ilmu tersimpan dalam Gedong Kirtya yang tersirat dalam ribuan lontar di dalamnya. Gedong Kirtya yang telah berusia ratusan tahun menyimpan banyak guratan sejarah Buleleng, bahkan Bali," urainya.

Dalam Gedong Kirtya tersimpan 5.200 salinan lontar dan terdapat koleksi lontar sebanyak 1.808 cakep. Dari ribuan koleksi tersebut, diklasifikasikn menjadi tujuh, yakni Lontar Weda, Agama, Wariga, Itihasa, Babad, Tantri, dan Lelampahan. 

(bx/dhi/rin/JPR)

Sabtu, 12 Desember 2020

Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan

 




- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Diceritakan pada abad ke 17, sosok penguasa Nusa Penida, yakni, Ida Ratu Gede Mecaling sempat tinggal di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar. Selama tinggal disana Ia gemar melakukan semedi, agar tidak ada yang mengganggu maka ia menciptakan sebuah pagar gaib agar orang yang mendekatinya, menjadi ketakutan.

Hal ini membuat resah warga Batuan, maka I Dewa Agung Anom, Raja Sukawati kala itu mengutus Patih I Dewa Babi untuk mengusir I Gede Mecaling dari Desa Baturan. I Gede Mecaling menantang Dewa Babi untuk bertanding ilmu menggunakan sarana babi guling. Babi guling milik I Gede Mecaling kakinya diikat dengan tali pelepah pisang dan milik Dewa Babi diikat dengan tali benang. Guling siapa yang ikatannya putus pertama saat dipanggang maka harus meninggalkan Desa Batuan. Dalam adu ilmu tersebut, Ratu Gede Mecaling kalah dan akhirnya diusir dari Batuan dan kembali ke Nusa Penida.


Merasa dicurangi, Ratu Gede Mecaling mengutuk warga Batuan bahwa setiap Sasih Kelima (mulai besok) hingga Sasih Kepitu, pasukan mahkluk halus Ratu Gede Mecaling akan mencari tetadahan (tumbal) di Desa Batuan. Dan barangsiapa warga Batuan yang datang ke Nusa Penida dan mengaku dirinya dari Batuan akan celaka. Benar saja, setiap Sasih Kelima di Batuan ada saja yang meninggal tak wajar, Seorang Pemangku menyarankan pada sasih kalima sampai kesanga agar masyarakat tidur di bawah tempat tidur supaya dilihat seperti babi.

Lama-kelamaan warga merasa jenuh dengan bayang-bayang Ratu Gede Mecaling, Ida Bhatara yang berstana di Pura Desa Batuan memberikan bisikan kepada jro mangku untuk menyuguhkan tarian Rejang Sutri dan Gocekan sebagai penyambutan datangnya Ida Ratu Gede Mecaling bersama pasukan mahkluk halusnya ke Desa Batuan. Diharapkan dengan menonton tarian itu dapat meluluhkan dendam beliau.


Namun pada masa kini beberapa warga Batuan sudah sering melakukan persembahyangan ke Pura Dalem Ped Nusa Penida, tempat berstananya Ratu Gede Mecaling, dan tak terjadi apa-apa, semoga beliau melupakan kejadian masa lalu dan memberikan keselamatan kepada kita.

Jumat, 11 Desember 2020

Petapakan Ida Betara Rangda Ngereh

 








- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI


Petapakan adalah topeng dalam wujud sosok makhluk magis yang meyeramkan, terbuat dari kayu tertentu, dibentuk sedemikian rupa sebagai simbol unsur niskala (tidak nampak) dari adanya Ida Betara Rangda.

Ketakson berasal dari kata taksu mendapat awalan ke dan akhiran an sehingga menjadi kata ketaksuan dan orang Bali lebih mudah mengucapkan dengan kata ketakson yang artinya kesaktian dari proses sakralisasi

Panungrahan artinya Pemberian dari Dewa

Petapakan Ida Betara Rangda Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda itu, diyakini tidak saja mampu mengusir gerubug [wabah penyakit] yang pada musim-musim tertentu datang mengancam penduduk Bali, namun juga diyakini dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang dan aman dari ancaman niskala itu. Rasa aman semacam itu menjadi penting, meskipun masyarakat Bali telah menjadi masyarakat modern dan berpendidikan tinggi. Aktualisasi dari rasa aman dari ancaman niskala ini adalah di setiap desa, atau Pura mesti ada Petapakan Ida Betara, sebagai tanda atau kendaraan adanya Ida Betara Rangda, yang jika dipahami dengan baik adalah sisi lain dari kepercayaan akan kemahakuasaan Siwa. 

Dalam kaitan dengan dunia mistik Hindu Bali, pemujaan terhadap Siwa dilakukan dengan banyak cara, namun terfokus pada Durga sebagai saktinya Siwa. Di bagian-bagian tertentu negeri India, mungkin Siwa tidak sepopuler di Bali, mungkin Wisnu yang lembut dan kebaikannya tidak diragukan lebih popular, atau mungkin Krisna atau Rama. Menarik diteliti mengapa Siwa dalam manifestasinya sebagai Dewa Pralina yang bertugas menghancurkan itu justru lebih popular daripada Wisnu atau Brahma yang lembut.


Dalam kisah cerita Calonarang diungkapkan, setelah Raja Airlangga memutuskan untuk menyerang kediaman Calonarang Janda Dirah, maka janda penekun ilmu hitam ini mengajak murid-muridnya ke kuburan untuk menghadap Dewi Durga. Untuk itu, janda dari Dirah itu harus menyiapkan sarana dan prosesi menyambut kedatangan Dewi Durga. 

Setelah sarana upacara dan prosesi pemujaan berlangsung, muncullah Dewi Durga dalam wujud yang menyeramkan, mulut menganga, taring mencuat dan saling bergesekan, rambut mengombak, membentangkan kain selendang pada susu, penuh hiasan, letak kedua kakinya miring, memakai kain setengah badan, matanya membelalak bagaikan matahari kembar, terus menerus mengeluarkan api, kemudian dengan suara berteriak menanyakan apa tujuan walu ing girah (janda dari girah atau dirah) menghadap.

Citra perwatakan Dewi Durga yang demikian seram itu, kelak muncul dalam rangda yang sesungguhnya merupakan hasil ciptaan para seniman Bali. Entah siapa yang menjadi pelopor, tampaknya seniman pertama yang menciptakan. Sosok rangda di Bali tidak dikenal, sosok rangda muncul di sejumlah desa di Bali sebagai wujud aktualisasi rasa magis masyarakat Bali. Kelahirannya itu, agaknya tidak sekedar melewati proses penciptaan yang biasa, mesti mengacu pada petunjuk mitos atau lontar tertentu. 

Lontar-lontar (daun pohon lontar yang berisi aksara suci) itu memberi petunjuk mengenai sah tidaknya sebuah petapakan untuk mendapatkan anugrah ketakson. Sementara itu, mitos-mitos yang diciptakan berfungsi untuk menambah bobot magis petapakan tersebut. Cerita-cerita mengenai makhluk-makhluk magis yang seram disampaikan oleh mitos-mitos itu, dipahami oleh penduduk Hindu Bali sebagai ancaman niskala pada kehidupan sehari-hari, jika petunjuk-petunjuknya tidak dipenuhi. 


Dalam mitos-mitos itu, selalu disebutkan bahwa makhluk-makhluk magis itu menyebarkan wabah penyakit pada musim-musim tertentu. Tidak heran, bila kemudian penduduk Bali merasa takut terhadap ancaman wabah penyakit itu, lalu seniman sakral Bali menciptakan mitos baru yang merupakan perwujudan dari sosok makhluk-makhluk magis itu. Salah satu ciptaan itu adalah Petapakan Ida Betara Rangda.

Pasti ada unsur yang bertugas mentrafsormasikan kesadaran mistik orang Bali dari generasi ke generasi sehingga kesadaran mistik tersebut tetap hidup dan bertahan dalam memori penduduk Bali. Walaupun tidak harus dikatakan bahwa kesadaran mistik itu, bergerak dan hidup di dalam memori semua penduduk Bali, namun tidak dapat dipungkiri kalau pada sebagian orang Bali kesadaran mistik itu masih hidup, muncul dan tenggelam. Artinya, sebagian penduduk Bali mungkin tidak lagi memperhatikan dan terlibat di dalam prosesi untuk menghidupkan kesadaran mistik itu, namun tidak dapat ditolak kalau kesadaran mistik itu tetap hidup di dalam memori mereka. Hal ini, misalnya tampak pada sedikit orang yang masih menghidupkan tradisi ngereh, namun bukan berarti kesadaran mistiknya telah terkikis. Inilah Keajaiban Bali.


Unsur perekat macam apa yang mampu mempertahankan kesadaran purba tersebut? kalau saja tidak ada teks, lebih khusus teks cerita Calonarang, yang dengan rajin disalin dan dibuatkan teks-teks baru mengenai makhluk-makhluk magis yang mengancam keselamatan penduduk Bali bila terjadi dis-harmoni terhadap mereka pastilah “rasa takut” itu berkurang. Baiklah, kalaupun berpikir positif, ancaman secara niskala semacam itu, ternyata juga membuat seniman [undagi] Bali menjadi kreatif dan karya-karya mereka memperkaya khasanah kebudayaan Bali. 

Persoalan kemudian penduduk Hindu Bali menjadi bertambah kerepotannya ketika karya-karya itu harus mendapatkan anugrah ketakson atau kesaktian melalui proses sakralisasi. Jika tidak, perasaan terancam secara niskala itu sangat mengganggu irama hidup penduduk Bali.

Dis-harmoni tidak boleh terjadi. Berbagi upakara harus diciptakan dan dipersembahkan, bukan untuk menghancurkan makhluk- makhluk magis itu, melainkan untuk dikembalikan ke wilayahnya, somnya (dinetralkan). Hal ini berarti, kedatangan wabah penyakit adalah akibat dari dis-harmonis tersebut, dan dis-harmonis terjadi karena ada yang melewati atau melanggar batas-batas wilayah masing-masing. Batas-batas itu bisa niskala, bisa juga sekala. Bagi yang melanggar batas-batas, sekali lagi, tidak harus dihancurkan atau dibunuh, melainkan dikembalikan ke alam semula, atau diberi sanksi agar kembali ke wilayah semula.



Puncak harmonisasi antara makhluk- makhluk mitologis itu dengan penduduk Hindu Bali adalah saling memberi kekuatan atau kesaktian, maka prosesi ngereh merupakan bukti adanya kesadaran mistik itu. Petapakan yang mendapatkan ketakson, merupakan bentuk presentasi dari kesadaran mistik Hindu Bali tersebut.

Agar petapakan itu dapat menjalankan fungsinya sebagai penangkal ancaman niskala-mistik itu, disamping dapat mengayomi penduduk dari ancaman niskala itu, maka petapakan itu harus sakti, memiliki taksu, dan agar sakti harus melalui proses sakralisasi. Sakralisasi ini sudah mulai dijalankan pada saat mencari kayu yang akan dijadikan bahan petapakan itu. 

Umumnya, kayu yang digunakan bahan petapakan, adalah jenis kayu yang dipercaya memiliki kekuatan magis, antara kayu pule, kapuh (rangdu), jaran, kapas, waruh teluh, dan kepah. Masing-masing jenis kayu ini ternyata memiliki mitologinya sendiri, yang narasinya berusaha menggambarkan keunikan dan kemagisan kayu-kayu tersebut. Sakralisasi juga tampak pada hari baik yang harus dipilih saat mulai mengerjakan petapakan itu, yang disebut hari kilang-kilung menurut kalender Bali. Sakralisasi ini masih harus dijalankan dalam beberapa tahapan, antara lain tahapan pasupati, ngatep, mintonin dan akhirnya ngerehang.







Teknik Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda

Tempat pelaksanaan ngereh biasanya di tengah-tengah setra (kuburan) pada hari tilem (gelap) dan hari keramat di malam hari. Jam pelaksanaannya sekitar jam dua puluh tiga yang diawali dengan matur piuning (Pemujaan), ngaturang caru (menghaturkan sesajen yang ditaruh diatas tanah ) dan nyambleh kucit butuhan (memotong babi jantan yang masih muda).

Orang yang ditugaskan ngereh duduk berhadapan dengan Petapakan Ida Betara Randa. Lidah Petapakan Ida Betara Rangda dilipat ke atas kepalanya. Diantara orang yang ngereh dengan Petapakan Ida Betara Rangda itu ditempatkan upakara, yang pokok adalah getih temelung (darah dari babi jantan) yang ditaruh pada takir (daun pisang). Pengereh bersemedi, sedangkan rekan-rekannya yang lain berjaga-jaga di sekitar setra (kuburan). Malampun bertambah larut . suasana magis mulai terasa ditambah desiran angin semilir membuat bulu kuduk berdiri.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Untuk menjadi Pengereh diperlukan kesiapan mental, keberanian dan kebersihan pikiran dan badan serta yang paling penting adalah lascarya (pasrah, tulus, ikhlas). Tidak boleh sesumbar atau menambah serta melengkapi diri dengan kekuatan-kekuatan lainnya seperti : sesabukan (Jimat kesaktian). Adanya benda-benda asing di luar kekuatan asli yang berada di badan akan mengganggu masuknya kekuatan Ida Bhatara.

Gegodan (gangguan niskala) mulai mengetes keteguhan hati pengereh, apakah dia akan bisa bertahan dan berhasil atau malah kabur yang berarti gagal. Beberapa jenis gegodan, antara lain :


BACA JUGA
Kamus Hindu Bali
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Semut yang mengerubuti sekujur tubuh pengereh dan semut ini besar-besar, jika tidak tahan maka pengereh akan menggaruk-garuk seluruh tubuhnya maka gagallah dia.
Nyamuk yang menggigit serta menyengat muka sampai terasa sakit, rasa-rasanya muka akan hancur, jika tidak tahan pengereh akan mengusap atau menepuk-menepuk mukanya dan gagallah dia.
Ular besar yang melintasi paha pengereh bergerak perlahan yang terasa geli, dingin dan mengerikan. Jika pengereh geli, ketakutan maka gagallah dia.
Celeng (babi) yang datang menguntit pantat pengereh yang sedang khusuknya bersemedi jika takut dan merasa terusik, gagallah si pengereh itu.
Angin semilir yang membawa Aji sesirep, jika tidak waspada akhirnya ketiduran, gagallah dia.
Kokok ayam dan galang kangin (bahasa bali) artinya suasana hari mendekati pagi diiringi dengan ayam berkokok, jika Pengereh terpengaruh dan menghentikan semedi karena merasa hari sudah pagi, maka gagallah dia.
“Bikul nyuling” (tikus meniup seruling) menggoda, sehingga membuat si pengereh tertawa karena lucu melihat tikus meniup seruling, maka gagallah dia.
“Talenan (alas untuk memotong daging) bersama blakas (pisau besar)” yang datang dengan bunyi….tek….tek….tek….dan akan melumat si pengereh, langsung dicincang. Kalau sudah seperti ini si pengereh harus kabur menyelematkan diri, karena kehadiran talenan bersama blakas ini adalah ciri kegagalan.
Kedengaran bunyi gemerincing…..cring…….cring, cring,cring,cring, kalau sudah begini berarti sudah gagallah prosesi ngereh ini, dan si pengereh tidak perlu lagi melanjutkan dan harus secepatnya angkat kaki menyelematkan diri. Hal ini menandakan akan hadir Banaspati Raja (Raja hantu) ancangan (anak buah) Ida Betara Bairawi yang berkuasa di Setra (kuburan).



Kalau yang disampaikan diatas adalah kegagalan ngereh, maka keberhasilannnya adalah ditandai dengan adanya gulungan api, atau tiga bola api yang datang menghampiri kemudian masuk ke petapakan Ida Betara Rangda. Jika sudah masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda, ditandai dengan menjulurnya lidah Petapakan Ida Betara Rangda yang semula diatas kepalanya kemudian turun berjuntai mengarah ke takir (daun pisang ) yang berisi getih temelung (darah babi jantan) dan menyedotnya sampai habis, selanjutnya si pengereh akan kerauhan (trance) kemudian masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda dan ngelur (berteriak) menggelegar; akhirnya tangkil (datang) ke Pura Dalem, permisi lanjut menuju pura tempat peyogan (persemadian) Ida Betara Durga.

Mengenai 9 jenis gegodan (gangguan) itu tidak terjadi sekaligus kesembilannya pada saat ritual ngereh. Gangguan (gegodan) yang terjadi bisa 1 atau 2 atau 3 atau 4 dan seterusnya tergantung situasi dan kondisi serta keberadaan si pengereh, kelengkapan upacara dan kemungkinan penyebab lainnya.







Petapakan Ida Betara Rangda diisi Kekuatan Sakti Panca Durga

Dalam ngerehang pun memanggil Panca Dhurga untuk mengisi kekuatan rangda. Untuk upacaranya perlu dibuatkan segehan agung (sesajen besar yang ditaruh di atas tanah) beserta perangkatnya yang sesuai dengan lontar pengerehan.

Adapun yang dimaksud dengan Sakti Panca Durga adalah lima macam kekuatan Durga yaitu :


Kala Durga, 
Durga Suksemi, 
Sri Durga, 
Sri Dewi Durga, dan 
Sri Aji Durga. 



Lima macam kekuatan Durga inilah yang menguasai ilmu arah mata angin di dunia niskala (tidak nampak) dan bisa menimbulkan kemakmuran bagi umat manusia maupun bencana apa bila dilanggar batas-batas wilayahnya.


Bali memang tidak bisa lepas dari upacara keagamaan yang dilakukan masyarakatnya, sehingga menambah kemagisan pulau ini, begitu halnya dengan upacara ngereh atau pengerehan yang lazim dilakukan oleh masyarakat dalam rangka menghidupkan sesuatu yang ada hubungannya dengan wahana atau petapakan Ida Betara Rangda di Pura.

Dalam ajaran Agama Hindu di Bali sarat dengan lokal genius yang berdasarkan sastra-sastra Agama, termasuk diantaranya ngereh. Dalam lontar Kanda Pat, ngereh atau pengerehan erat kaitannya dengan Petapakan Ida Betara Rangda yang berupa benda yakni tapel rangda (topeng rangda).

Sedangkan ngerehan rangda sesuai dengan Lontar Pengerehan, Kanda Pat, bahwa ngerehang rangda mempunyai kekhususan sendiri. Sebab ini berhubungan dengan sifat magis yang dimiliki oleh rangda itu sendiri, karena rangda merupakan simbol rajas (emosi) yang penuh dengan nafsu untuk menguasai. Dalam lontar Calonarang, rangda artinya janda yang memiliki nafsu tak terbendung atau kemarahan yang tak tertahankan karena dendam. Rangda sendiri merupakan sifat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya sehingga menyebabkan gejolak dalam diri kita sebagai manusia.

Rangda pengerehan dilaksanakan di setra (kuburan), karena setra (kuburan) merupakan tempat pemujaan terhadap Dewa Bhairawi yaitu Dewa kuburan dalam lontar Bhairawa Tatwa, yang merupakan wujud dari Dewi Durga. Dalam mitologinya, disini Dewa Siwa berubah wujud untuk menemui saktinya Dewi Durga berupa rangda sehingga muncullah beberapa kekuatan yang menyeramkan untuk menguasai dunia. Inilah alasannya kenapa setra (kuburan) dipakai sebagai tempat ngerehang rangda. Karena penuh dengan kekuatan black magik. Sehingga dalam ngerehang rangda, kalau sudah mencapai puncaknya ia akan hidup. Setelah hidup rangda akan memanggil anak-anak buahnya berupa leak (setan) atau makhluk halus lainnya.

Sarana Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda Di Kuburan Berupa Pala Walung

“Sebelum ngerehan, maka disiapkan berbagai sarana dan bebantenan (sesajen sakral). Sarana yang penting tersebut adalah memohon pala walung (tengkorak manusia) sebanyak tiga buah. Untuk itu dilakukan matur piuning (pemujaan) kehadapan Ida Betara di Mrajapati. Setelah itu, sekitar jam dua belas siang jero mangku (orang suci) beserta krama (masyarakat) mencari-cari tengkorak di sekitar setra (kuburan). Pala walung atau tengkorak yang didapat tersebut kemudian dicuci dengan toya kumkuman (air suci dari air kelapa) dan ketiganya dihaturkan rayunan cenik (suguhan berupa hidangan).

“Hal lain yang perlu adalah mempersiapkan juru pundut (pengusung) ketika upacara ngereh.

“Pada hari pengerehan tersebut, juru pundut (pengusung) yang kasudi (ditugaskan) atau ditunjuk dilakukan upacara sakral di Pura Dalem. Setelah itu ngiderang (mengelilingi) gedong Pura Dalem sebanyak tiga kali. Kemudian juru pundut (pengusung) tersebut menghaturkan sembah kepada Ratu Gede Penyarikan, Mrajapati. Proses ini berlangsung sekitar jam dua puluh dua tiga puluh menit (jam 20.30 ) malam.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Pada tengah malam sekitar jam dua puluh tiga, tiga puluh menit (jam 23.30) malam, barulah Petapakan Ida Betara Rangda diikuti oleh para damuh (masyarakat penyungsung) menuju ke setra (kuburan) untuk upacara ngereh. Di sana telah disediakan banten (sesajen). Semua banten (sesajen) tersebut diastawa (dipuja) oleh jero mangku (orang suci). Di tempat tersebut ditancapkan sebuah sanggah cucuk (tempat sesajen dari pohon bambu) yang berisi sesajen sakral. Sedang Ida Betara Rangda diletakkan diatas gegumuk (gundukan tanah).

Pemundut (pengusung) kemudian duduk bersimpuh di hadapan banten (sesajen) dan prerai (muka topeng) Petapakan Ida Betara Rangda. Duduk bersimpuh dimana kedua lututnya beralaskan pala walung (tengkorak manusia), dan satu lagi di bagian pantatnya. Mencakupkan tangan memegang kuangen (sarana bunga), ngulengang kayun (konsentrasi) kehadapan Ida Betara Durga. Dihadapannya diletakkan sebuah pengasepan (tempat api). Setelah itu areal tempat ngerehan dikosongkan dari orang termasuk pemangku (orang suci). Semua berada dalam jarak yang jauh”.

Jadi pengertian ngereh pada intinya adalah Petapakan Ida Betara Rangda mesuci (membersihkan diri) di setra (kuburan). Salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesidian (kesaktian) beliau. Setelah upacara ngereh Petapakan Ida Betara Rangda selesai, kemudian pala walung yang tadinya dimohon, dikembalikan ke tempatnya semula, agar tidak ngerebeda (mengganggu atau menimbulkan hal yang tidak diinginkan).

Petapakan Ida Betara Rangda di Bali diyakini mampu mengusir gerubug (wabah penyakit) dan dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang, aman dan tentram dalam irama kehidupan umat Hindu di Bali. Oleh Adang Suprapto




Sumber : cakepane.blogspot.com

Minggu, 06 Desember 2020

EKSPOR BAWANG MERAH, BALI KANTONGI RATUSAN MILIAR RUPIAH DARI SINGAPURA


Untuk menggairahkan ekonomi Provinsi Bali, maka pemerintah setempat mengekspor 12 ton bawang merah senilai US$18 ribu atau setara Rp257 miliar ke Singapura.

Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan Sidharta Utama mengungkapkan bahwa ekspor bawang merah ini dilakukan untuk menggeliatkan ekonomi Bali selama pandemi. 

"Kegiatan ini merupakan rangkaian dari pelepasan ekspor produk Indonesia yang bernilai tambah dan sustainable ke pasar global secara serentak," katanya  seperti dikutip dari Antara, Sabtu (5/12/2020).

Pelepasan ekspor bawang merah Bali bersama 16 provinsi lainnya di Tanah Air itu dipimpin Presiden Joko Widodo secara virtual dari Istana Negara serta Kementerian Perdagangan dari Lamongan, Jawa Timur.

Selengkapnya: 
https://m.bisnis.com/amp/read/20201205/12/1326712/ekspor-bawang-merah-bali-kantongi-ratusan-miliar-rupiah-dari-singapura

Jumat, 04 Desember 2020

Sri Mulyani: Banyak Rakyat Anggap Pajak Bentuk Penjajahan

 Sri Mulyani: Banyak Rakyat Anggap Pajak Bentuk Penjajahan


Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, banyak masyarakat di Indonesia yang memandang pajak bukan lah suatu kewajiban. Bahkan pajak dianggap sebagai bentuk penjajahan.


"Banyak yang menganggap pajak adalah bukan kewajiban, beban dari negara yang tidak dihubungkan dengan kehadiran negara itu sendiri. Bahkan masih ada sebagian masyarakat kita menganggap pajak itu identik dengan penjajahan," jelas Sri Mulyani saat menjadi pembicara di dalam acara yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara virtual, Kamis (3/12/2020).

Oleh karena itu, Sri Mulyani meminta kepada para pegawai yang bekerja di DJP untuk serius dalam memperluas basis pajak, untuk meningkatkan penerimaan negara melalui pajak.

Iklim berusaha di Indonesia, lanjut Sri Mulyani harus diperbaiki dan pajak merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan iklim berusaha di dalam negeri. Apalagi dalam rangka mendorong kesetaraan berusaha, yang saat ini marak dilakukan secara digital.

DJP diminta oleh Sri Mulyani untuk bisa mengenakan pajak kepada penyedia jasa usaha digital yang membuka usahanya di Indonesia, tanpa terkecuali.

"Transaksi yang menggunakan digital alat elektronik menjadi sangat penting, untuk menciptakan apa yang disebut playing field. Juga dalam hal para penyedia platform bisa diberikan kewenangan pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas nama negara, yang kemudian diserahkan kepada negara (Indonesia)," jelas Sri Mulyani.

"Juga pengenaan pajak kepada subjek pajak luar negeri atas transaksi elektronik di Indonesia. Ini semuanya bertujuan agar perpajakan di Indonesia tetap mengikuti perubahan yangs angat dinamis di dunia, baik adany dampak Covid-19 maupun adanya revolusi teknologi," kata Sri Mulyani melanjutkan.

Segala tantangan pemerintah dalam menarik pajak, menurut Sri Mulyani harus bisa ditangani dengan serius melalui DJP. Karena pada akhirnya, pajak bertujuan membangun Indonesia untuk memajukan kesejahteraan masyarakat secara luas.

"Saya berharap seluruh Direktorat Jenderal pajak ikut dalam berkontribusi mengedukasi, mensosialisasikan, dan bahkan dalam hal ini menularkan cara berpikir kritis, namun juga memiliki sistematika dari perpajakan, untuk secara betul-betul fundamental dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan politis," pungkas Sri Mulyani.

Seperti diketahui, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hingga Oktober 2020 mengalami defisit Rp764,9 triliun. Salah satu penyebabnya karena penerimaan pajak yang anjlok hingga 18,8%. Defisit tersebut setara dengan 4,67% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini masih di bawah batas maksimal, yaitu Rp1.039,2 triliun atau 6,34%.



https://www.cnbcindonesia.com/news/20201203183739-4-206704/sri-mulyani-banyak-rakyat-anggap-pajak-bentuk-penjajahan

klo update status gayanya orang kaya belanja ini itu barang baru ga mau ketinggalan meskipun cuma minjem, tapi klo bahas pajak semua orang mendadak miskin

Mari Mengenal Search Engine DuckDuckGo, Yang Lebih Aman Daripada Goggle

 


KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagian besar pengguna internet pasti menggunakan search engine atau mesin pencari Google. Tapi tahukah kalian ada mesin pencari yang lebih aman dari Google? Mari mengenal DuckDuckGo, sebuah mesin pencari yang aman dari pelacakan.


Tahukah Anda bahwa internet itu begitu luas? Saking luasnya mungkin kita bisa menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menjelajahi apa saja yang ada di internet.

Untuk mencari informasi di internet, umumnya kita menggunakan bantuan mesin pencari. Pada dasarnya ada beberapa mesin pencari yang umum digunakan.

Seperti Bing, Yahoo, hingga Google yang umum digunakan oleh banyak pengguna internet.

Tetapi tahukah Anda bahwa ada mesin pencari atau search engine selain itu?

Yaitu DuckDuckGo.

DuckDuckGo adalah sebuah mesin pencari yang memberikan rasa aman saat berselancar di internet.

Mengutip dari Komando.com, sebuah situs yang membahas keamanan di internet. Menjelaskan bahwa Google menjadi salah satu mesin pencari yang kurang aman.

Sebab Google melacak semua aktivitas yang kita lakukan di internet. Semua yang kita tuliskan lewat mesin pencarian Google tanpa Anda sadari telah dicatat.

Misalkan mencari laptop atau HP Android di Google. Setelah Anda mengetik kata kunci tersebut di Google, iklan yang muncul ketika internetan pasti tidak jauh dari itu.

Bahkan Google juga bisa melacak IP adress, lokasi, dan berbagai informasi lainnya. Khususnya apa saja yang kalian klik di internet ketika menggunakan Google dapat di lacak.

Nah, jika enggan apa yang Anda lakukan di internet di lacak oleh Google, bisa mencoba mesin pencari DuckDuckGo.

Untuk Menggunakan DuckDuckGo, agan dan sista bisa langsung install browsernya di AppStore maupun Playstore.

Untuk desktop, agan dan sista juga bisa langsung menambahkan extension di browser seperti chrome contohnya.
Tinggal klik saja "Add DuckDuckGo to Chrome", maka Anda akan di arahkan langsung ke halaman extension untuk menginstallnya.

Walaupun DuckDuckGo telah mengclaim akan menjaga privasi data pribadi kita, harus tetap waspada ya gaes selama berselancar di internet.

Kamis, 03 Desember 2020

UU CIPTA KERJA BERIKAN PELUANG BESAR BUMDES UNTUK LEBIH MAJU


Dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) kini menjadi unit usaha berbadan hukum sehingga lebih mudah membangun kemitraan dengan pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta.

“Di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak ada ketegasan posisi hukum. Dengan UU Ciptaker ini, kuat sekali bahwa BUMDes sebagai entitas baru, unit usaha yang berbadan hukum yang setara dengan PT dan koperasi yang ada selama ini,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemdes PDTT) Taufik Madjid dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (1/12/2020).

Taufik memastikan, kepastian hukum BUMDes dalam UU Ciptaker tidak akan mempersulit pengembangan BUMDes. Bahkan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait tata kelola BUMDes telah disusun dengan sederhana dan mudah dipahami.

“Jadi di RPP BUMDes, sedapat mungkin tidak perlu dijelaskan melalui Permen (Peraturan Menteri). Satu semangat kita jangan sampai ada regulasi yang mempersulit pengembangan BUMDes. Poin itu yang harus kita pegang. Tentunya Perda (Peraturan Daerah) juga jangan sampai mempersulit,” ujarnya.

Terkait kemitraan, lanjutnya, menjadi salah satu unsur penting dalam pengembangan BUMDes. Bentuk kemitraan pun beragam mulai dari aspek permodalan, penguatan sumber daya manusia (SDM) hingga mitra usaha.

“Aspek modal itu penting sekali mengingat modal BUMDes yang sangat terbatas. Maka kerja sama dengan perbankan menjadi sangat penting sekali. Kemudian, kapaistas pengelola di BUMDes juga terkendala dengan SDM. Maka, perlu kerja sama dengan perguruan tinggi, perbankan, NGO, balai latihan, dan seterusnya,” ujarnya.

Taufik juga mengingatkan BUMDes untuk beradaptasi dengan perkembangan dunia digital sehingga mampu menembus pasar global.

“Digitalisasi ekonomi desa dengan e-commerce. Ini kebutuhan mendesak. Kita harus perform di ekonomi digital. Kalau tidak, kita akan ketinggalan. Supaya desa bisa lebih efisien, efektif untuk memasarkan produk dan hasil dari desa,” ujarnya.

Selengkapnya https://www.google.com/amp/s/www.beritasatu.com/amp/jayanty-nada-shofa/nasional/704791/kini-berbadan-hukum-bumdes-jadi-lebih-mudah-bangun-kemitraan