Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menjadi pembicara dalam webinar nasional "Pemanfaatan RCEP untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Nasional Berkualitas" yang berlangsung pada Senin (30/11/2020). Dalam paparannya, Agus mengungkapkan sederet manfaat perjanjian dagang yang diklaim terbesar di dunia itu.
"Sebelum kita membahas RCEP, kita ingin membahas perdagangan luar negeri Indonesia baik ekspor dan impor terakhir ini. Di sana akan lebih jelas bagaimana kita memproyeksikan kinerja ekspor-impor ke depan, khususnya pada saat perjanjian RCEP mulai berlaku efektif," katanya.
Agus menceritakan, sebelum perdagangan global dihadapkan pada situasi pandemi Covid-19, perdagangan global melemah. Salah satu pemicunya adalah disrupsi dari hasil industri 4.0, internet of things, dan artificial intelligence (AI).
Bersamaan dengan itu, kata Agus, sistem perdagangan multilateral di bawah naungan WTO. Hal itu mendorong ketegangan antara dua raksasa ekonomi dunia, yaitu Amerika Serikat (AS) dan China, yang menciptakan efek domino ke negara-negara lain yang memiliki ketergantungan besar pada kedua negara yang berseteru tadi.
"Keadaan ini juga mendorong terjadinya tren proteksionisme, aksi-aksi bilateral dan lainnya, yang mengganggu perdagangan dunia," ujar Agus.
Imbasnya, jika pada tahun 2017, perdagangan global masih tumbuh 5,9%, maka setahun berselang melambat 4%. Sedangkan pada 2019, pertumbuhan perdagangan global tercatat 0,8%.
Kini, di tengah pandemi Covid-19, perdagangan global kontraksi 13,4% di semester I 2020. Nilai itu lebih parah dibandingkan dengan kontraksi yang terjadi setelah perang dunia II yang tercatat -10,4 %.
"Sebelum pandemi, ekspor Indonesia telah mulai mengalami perlambatan pada tahun 2019 di mana ekspor mengalami penurunan 6,49%. Khusus untuk ekspor non migas, kita mencatatkan penurunan 4,28%. meski neraca perdagangan nonmigas masih mencatatkan surplus," ujar Agus.
"Untuk periode Januari-Oktober, nilai ekspor nonmigas tercatat US$ 125 milia. Ini merupakan penurunan sebesar 3,62% dari periode yang sama tahun lalu. Impor nonmigas pada periode yang sama tercatat US$ 114,47 miliar, turun 19,07%. Dilihat dari neraca perdagangan nonmigas, Januari-Oktober 2020 ini kita mencatat surplus neraca perdagangan nonmigas US$ 10,53 miliar," lanjutnya.
Saat ini, menurut Agus, Kemendag sangat aktif mendorong ekspornon migas ke berbagai negara di kawasan Asia tengah, selatan, Eropa selatan, Eropa timur, Afrika utara, Afrika barat, dan Amerika latin.
Beberapa produk yang berhasil didorong ekspornya pada Oktober antara lain produk pertanian dan perikanan, susu, mentega, telur, buah-buahan, ikan dan udang. Sementara di sektor manufaktur, RI mendorong ekspor lemak dan minyak nabati, BBM, mesin dan perlengkapan elektrik dan kendaraan bagiannya dan barang dari karet.
Khusus untuk impor, Agus menggaris bawahi dari tahun ke tahun, produk yang diimpor Indonesia terdiri dari bahan baku dan bahan penolong yang terdiri dari sekitar 72% total impor. Disusul barang modal antara lain 18% dan sisanya barang konsumsi.
Periode Januari-Oktober 2020, Agus menyebut ada penurunan impor yang signifikan pada dua kelompok barang, barang baku dan penolong, dan barang modal. Produk impor yang menurun scara signifikan mesin, perlatan mekanik, barang dari plastik dan barang besi dan besi, kendaraan dan bagiannya serta perlengkapan elektrik.
"Penurunan impor tersebut merupakan refleksi dari menurunnya kegiatan produksi di dalam tanah air dalam beberapa bulan ini, akibat dari berbagai pembatasan terkait covid-19, termasuk pengurangan jam kerja di pabrik-pabrik bahkan pengurangan pekerja di beberapa sektor," ujar Agus.
"Kita pelru antisipasi bahwa di saat Covid-19 ini sudah dapat dikendalikan dengan baik, maka sektor produksi di Indonesia akan mulai bangkit kembali dan bersamaan itu ada potensi peningkatan impor barang baku, penolong dan modal. Kita tentunya ingin agar kondisi neraca perdagangan kita tetap positif," lanjutnya.
Namun, disaat bersamaan, Agus bilang perlu membiarkan masuknya input yang diperlukan sektor produksi yang terutama supply-nya di Indonesia belum cukup. Oleh karena itu, pemerintah akan terus mendorong peningkatan ekspor khususnya ekspor nonmigas ke berbagai kawasan di dunia termasuk menginisiasi dan menyelesaiakan perundingan-perundingan internasional.
Pemerintah juga akan mengelola impor lebih baik agar kebutuhan sektor produksi bisa efektif dan sedapat mungkin mendapatkan bahan baku dan penolong yang kita hasilkan sendiri.
"Tentunya hal ini memerlukan pembenahan di sektor hulu agar bahan-bahan di sektor hilir bisa berkualitas dengan harga yang cukup bersaing dibanding dengan barang serupa di negara lain. Intinya akan mengelola atau manage impor dengan baik dan memperhatikan sektor-sektor produksi di tanah air, namun secara pararel kita harus tahu bahwa Indonesia akan meningkatkan ekspor berkali-kali lipat dari impornya," kata Agus.
Dalam konteks ini, Agus meyakini keikutsertaan RI dalam RCEP akan ikut memperkuat kemampuan Indonesia untuk meningkatkan ekspor dengan memperdalam posisi RI dalam global supply chain melalui jaringan produksi di kawasan RCEP.
Berdasarkan data 2019, total ekspor nonmigas ke negara-negara RCEP 56,51% dari total ekspor Indoneia ke dunia senilai US$ 84,5 miliar. Sementara impor dari negara-negara RCEP merupakan sumber dari 65,79% dari total impor Indonesia dari dunia senilai US%$ 102 miliar.
"Dalam hal ini RCEP berpotensi memperkuat perdagangan kita dengan sesama negara anggota dan jangkauan masuk ke global value chain. RCEP harus dapat dimanfaatkan," ujar Agus.
"Kami juga akan mendorong pelaku usaha untuk memanfaatkan RCEP ini dan juga mendorong persaingan untuk memulihkan ekonomi. Hal ini sesuai arahan Presiden untuk memulihkan perekonomian terutama yang terkena pandemi Covid-19," lanjutnya.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20201130112610-4-205630/mendag-beberkan-manfaat-rcep-bagi-ri-apa-saja