Minggu, 06 Desember 2020

EKSPOR BAWANG MERAH, BALI KANTONGI RATUSAN MILIAR RUPIAH DARI SINGAPURA


Untuk menggairahkan ekonomi Provinsi Bali, maka pemerintah setempat mengekspor 12 ton bawang merah senilai US$18 ribu atau setara Rp257 miliar ke Singapura.

Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan Sidharta Utama mengungkapkan bahwa ekspor bawang merah ini dilakukan untuk menggeliatkan ekonomi Bali selama pandemi. 

"Kegiatan ini merupakan rangkaian dari pelepasan ekspor produk Indonesia yang bernilai tambah dan sustainable ke pasar global secara serentak," katanya  seperti dikutip dari Antara, Sabtu (5/12/2020).

Pelepasan ekspor bawang merah Bali bersama 16 provinsi lainnya di Tanah Air itu dipimpin Presiden Joko Widodo secara virtual dari Istana Negara serta Kementerian Perdagangan dari Lamongan, Jawa Timur.

Selengkapnya: 
https://m.bisnis.com/amp/read/20201205/12/1326712/ekspor-bawang-merah-bali-kantongi-ratusan-miliar-rupiah-dari-singapura

Jumat, 04 Desember 2020

Sri Mulyani: Banyak Rakyat Anggap Pajak Bentuk Penjajahan

 Sri Mulyani: Banyak Rakyat Anggap Pajak Bentuk Penjajahan


Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, banyak masyarakat di Indonesia yang memandang pajak bukan lah suatu kewajiban. Bahkan pajak dianggap sebagai bentuk penjajahan.


"Banyak yang menganggap pajak adalah bukan kewajiban, beban dari negara yang tidak dihubungkan dengan kehadiran negara itu sendiri. Bahkan masih ada sebagian masyarakat kita menganggap pajak itu identik dengan penjajahan," jelas Sri Mulyani saat menjadi pembicara di dalam acara yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara virtual, Kamis (3/12/2020).

Oleh karena itu, Sri Mulyani meminta kepada para pegawai yang bekerja di DJP untuk serius dalam memperluas basis pajak, untuk meningkatkan penerimaan negara melalui pajak.

Iklim berusaha di Indonesia, lanjut Sri Mulyani harus diperbaiki dan pajak merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan iklim berusaha di dalam negeri. Apalagi dalam rangka mendorong kesetaraan berusaha, yang saat ini marak dilakukan secara digital.

DJP diminta oleh Sri Mulyani untuk bisa mengenakan pajak kepada penyedia jasa usaha digital yang membuka usahanya di Indonesia, tanpa terkecuali.

"Transaksi yang menggunakan digital alat elektronik menjadi sangat penting, untuk menciptakan apa yang disebut playing field. Juga dalam hal para penyedia platform bisa diberikan kewenangan pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas nama negara, yang kemudian diserahkan kepada negara (Indonesia)," jelas Sri Mulyani.

"Juga pengenaan pajak kepada subjek pajak luar negeri atas transaksi elektronik di Indonesia. Ini semuanya bertujuan agar perpajakan di Indonesia tetap mengikuti perubahan yangs angat dinamis di dunia, baik adany dampak Covid-19 maupun adanya revolusi teknologi," kata Sri Mulyani melanjutkan.

Segala tantangan pemerintah dalam menarik pajak, menurut Sri Mulyani harus bisa ditangani dengan serius melalui DJP. Karena pada akhirnya, pajak bertujuan membangun Indonesia untuk memajukan kesejahteraan masyarakat secara luas.

"Saya berharap seluruh Direktorat Jenderal pajak ikut dalam berkontribusi mengedukasi, mensosialisasikan, dan bahkan dalam hal ini menularkan cara berpikir kritis, namun juga memiliki sistematika dari perpajakan, untuk secara betul-betul fundamental dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan politis," pungkas Sri Mulyani.

Seperti diketahui, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hingga Oktober 2020 mengalami defisit Rp764,9 triliun. Salah satu penyebabnya karena penerimaan pajak yang anjlok hingga 18,8%. Defisit tersebut setara dengan 4,67% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini masih di bawah batas maksimal, yaitu Rp1.039,2 triliun atau 6,34%.



https://www.cnbcindonesia.com/news/20201203183739-4-206704/sri-mulyani-banyak-rakyat-anggap-pajak-bentuk-penjajahan

klo update status gayanya orang kaya belanja ini itu barang baru ga mau ketinggalan meskipun cuma minjem, tapi klo bahas pajak semua orang mendadak miskin

Mari Mengenal Search Engine DuckDuckGo, Yang Lebih Aman Daripada Goggle

 


KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagian besar pengguna internet pasti menggunakan search engine atau mesin pencari Google. Tapi tahukah kalian ada mesin pencari yang lebih aman dari Google? Mari mengenal DuckDuckGo, sebuah mesin pencari yang aman dari pelacakan.


Tahukah Anda bahwa internet itu begitu luas? Saking luasnya mungkin kita bisa menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menjelajahi apa saja yang ada di internet.

Untuk mencari informasi di internet, umumnya kita menggunakan bantuan mesin pencari. Pada dasarnya ada beberapa mesin pencari yang umum digunakan.

Seperti Bing, Yahoo, hingga Google yang umum digunakan oleh banyak pengguna internet.

Tetapi tahukah Anda bahwa ada mesin pencari atau search engine selain itu?

Yaitu DuckDuckGo.

DuckDuckGo adalah sebuah mesin pencari yang memberikan rasa aman saat berselancar di internet.

Mengutip dari Komando.com, sebuah situs yang membahas keamanan di internet. Menjelaskan bahwa Google menjadi salah satu mesin pencari yang kurang aman.

Sebab Google melacak semua aktivitas yang kita lakukan di internet. Semua yang kita tuliskan lewat mesin pencarian Google tanpa Anda sadari telah dicatat.

Misalkan mencari laptop atau HP Android di Google. Setelah Anda mengetik kata kunci tersebut di Google, iklan yang muncul ketika internetan pasti tidak jauh dari itu.

Bahkan Google juga bisa melacak IP adress, lokasi, dan berbagai informasi lainnya. Khususnya apa saja yang kalian klik di internet ketika menggunakan Google dapat di lacak.

Nah, jika enggan apa yang Anda lakukan di internet di lacak oleh Google, bisa mencoba mesin pencari DuckDuckGo.

Untuk Menggunakan DuckDuckGo, agan dan sista bisa langsung install browsernya di AppStore maupun Playstore.

Untuk desktop, agan dan sista juga bisa langsung menambahkan extension di browser seperti chrome contohnya.
Tinggal klik saja "Add DuckDuckGo to Chrome", maka Anda akan di arahkan langsung ke halaman extension untuk menginstallnya.

Walaupun DuckDuckGo telah mengclaim akan menjaga privasi data pribadi kita, harus tetap waspada ya gaes selama berselancar di internet.

Kamis, 03 Desember 2020

UU CIPTA KERJA BERIKAN PELUANG BESAR BUMDES UNTUK LEBIH MAJU


Dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) kini menjadi unit usaha berbadan hukum sehingga lebih mudah membangun kemitraan dengan pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta.

“Di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak ada ketegasan posisi hukum. Dengan UU Ciptaker ini, kuat sekali bahwa BUMDes sebagai entitas baru, unit usaha yang berbadan hukum yang setara dengan PT dan koperasi yang ada selama ini,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemdes PDTT) Taufik Madjid dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (1/12/2020).

Taufik memastikan, kepastian hukum BUMDes dalam UU Ciptaker tidak akan mempersulit pengembangan BUMDes. Bahkan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait tata kelola BUMDes telah disusun dengan sederhana dan mudah dipahami.

“Jadi di RPP BUMDes, sedapat mungkin tidak perlu dijelaskan melalui Permen (Peraturan Menteri). Satu semangat kita jangan sampai ada regulasi yang mempersulit pengembangan BUMDes. Poin itu yang harus kita pegang. Tentunya Perda (Peraturan Daerah) juga jangan sampai mempersulit,” ujarnya.

Terkait kemitraan, lanjutnya, menjadi salah satu unsur penting dalam pengembangan BUMDes. Bentuk kemitraan pun beragam mulai dari aspek permodalan, penguatan sumber daya manusia (SDM) hingga mitra usaha.

“Aspek modal itu penting sekali mengingat modal BUMDes yang sangat terbatas. Maka kerja sama dengan perbankan menjadi sangat penting sekali. Kemudian, kapaistas pengelola di BUMDes juga terkendala dengan SDM. Maka, perlu kerja sama dengan perguruan tinggi, perbankan, NGO, balai latihan, dan seterusnya,” ujarnya.

Taufik juga mengingatkan BUMDes untuk beradaptasi dengan perkembangan dunia digital sehingga mampu menembus pasar global.

“Digitalisasi ekonomi desa dengan e-commerce. Ini kebutuhan mendesak. Kita harus perform di ekonomi digital. Kalau tidak, kita akan ketinggalan. Supaya desa bisa lebih efisien, efektif untuk memasarkan produk dan hasil dari desa,” ujarnya.

Selengkapnya https://www.google.com/amp/s/www.beritasatu.com/amp/jayanty-nada-shofa/nasional/704791/kini-berbadan-hukum-bumdes-jadi-lebih-mudah-bangun-kemitraan

Selasa, 01 Desember 2020

MENDAG BEBERKAN MANFAAT RCEP BAGI RI, APA SAJA?


Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menjadi pembicara dalam webinar nasional "Pemanfaatan RCEP untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Nasional Berkualitas" yang berlangsung pada Senin (30/11/2020). Dalam paparannya, Agus mengungkapkan sederet manfaat perjanjian dagang yang diklaim terbesar di dunia itu.

"Sebelum kita membahas RCEP, kita ingin membahas perdagangan luar negeri Indonesia baik ekspor dan impor terakhir ini. Di sana akan lebih jelas bagaimana kita memproyeksikan kinerja ekspor-impor ke depan, khususnya pada saat perjanjian RCEP mulai berlaku efektif," katanya.

Agus menceritakan, sebelum perdagangan global dihadapkan pada situasi pandemi Covid-19, perdagangan global melemah. Salah satu pemicunya adalah disrupsi dari hasil industri 4.0, internet of things, dan artificial intelligence (AI).

Bersamaan dengan itu, kata Agus, sistem perdagangan multilateral di bawah naungan WTO. Hal itu mendorong ketegangan antara dua raksasa ekonomi dunia, yaitu Amerika Serikat (AS) dan China, yang menciptakan efek domino ke negara-negara lain yang memiliki ketergantungan besar pada kedua negara yang berseteru tadi.

"Keadaan ini juga mendorong terjadinya tren proteksionisme, aksi-aksi bilateral dan lainnya, yang mengganggu perdagangan dunia," ujar Agus.

Imbasnya, jika pada tahun 2017, perdagangan global masih tumbuh 5,9%, maka setahun berselang melambat 4%. Sedangkan pada 2019, pertumbuhan perdagangan global tercatat 0,8%.

Kini, di tengah pandemi Covid-19, perdagangan global kontraksi 13,4% di semester I 2020. Nilai itu lebih parah dibandingkan dengan kontraksi yang terjadi setelah perang dunia II yang tercatat -10,4 %.

"Sebelum pandemi, ekspor Indonesia telah mulai mengalami perlambatan pada tahun 2019 di mana ekspor mengalami penurunan 6,49%. Khusus untuk ekspor non migas, kita mencatatkan penurunan 4,28%. meski neraca perdagangan nonmigas masih mencatatkan surplus," ujar Agus.

"Untuk periode Januari-Oktober, nilai ekspor nonmigas tercatat US$ 125 milia. Ini merupakan penurunan sebesar 3,62% dari periode yang sama tahun lalu. Impor nonmigas pada periode yang sama tercatat US$ 114,47 miliar, turun 19,07%. Dilihat dari neraca perdagangan nonmigas, Januari-Oktober 2020 ini kita mencatat surplus neraca perdagangan nonmigas US$ 10,53 miliar," lanjutnya.

Saat ini, menurut Agus, Kemendag sangat aktif mendorong ekspornon migas ke berbagai negara di kawasan Asia tengah, selatan, Eropa selatan, Eropa timur, Afrika utara, Afrika barat, dan Amerika latin.
Beberapa produk yang berhasil didorong ekspornya pada Oktober antara lain produk pertanian dan perikanan, susu, mentega, telur, buah-buahan, ikan dan udang. Sementara di sektor manufaktur, RI mendorong ekspor lemak dan minyak nabati, BBM, mesin dan perlengkapan elektrik dan kendaraan bagiannya dan barang dari karet.

Khusus untuk impor, Agus menggaris bawahi dari tahun ke tahun, produk yang diimpor Indonesia terdiri dari bahan baku dan bahan penolong yang terdiri dari sekitar 72% total impor. Disusul barang modal antara lain 18% dan sisanya barang konsumsi.

Periode Januari-Oktober 2020, Agus menyebut ada penurunan impor yang signifikan pada dua kelompok barang, barang baku dan penolong, dan barang modal. Produk impor yang menurun scara signifikan mesin, perlatan mekanik, barang dari plastik dan barang besi dan besi, kendaraan dan bagiannya serta perlengkapan elektrik.

"Penurunan impor tersebut merupakan refleksi dari menurunnya kegiatan produksi di dalam tanah air dalam beberapa bulan ini, akibat dari berbagai pembatasan terkait covid-19, termasuk pengurangan jam kerja di pabrik-pabrik bahkan pengurangan pekerja di beberapa sektor," ujar Agus.

"Kita pelru antisipasi bahwa di saat Covid-19 ini sudah dapat dikendalikan dengan baik, maka sektor produksi di Indonesia akan mulai bangkit kembali dan bersamaan itu ada potensi peningkatan impor barang baku, penolong dan modal. Kita tentunya ingin agar kondisi neraca perdagangan kita tetap positif," lanjutnya.

Namun, disaat bersamaan, Agus bilang perlu membiarkan masuknya input yang diperlukan sektor produksi yang terutama supply-nya di Indonesia belum cukup. Oleh karena itu, pemerintah akan terus mendorong peningkatan ekspor khususnya ekspor nonmigas ke berbagai kawasan di dunia termasuk menginisiasi dan menyelesaiakan perundingan-perundingan internasional.

Pemerintah juga akan mengelola impor lebih baik agar kebutuhan sektor produksi bisa efektif dan sedapat mungkin mendapatkan bahan baku dan penolong yang kita hasilkan sendiri.

"Tentunya hal ini memerlukan pembenahan di sektor hulu agar bahan-bahan di sektor hilir bisa berkualitas dengan harga yang cukup bersaing dibanding dengan barang serupa di negara lain. Intinya akan mengelola atau manage impor dengan baik dan memperhatikan sektor-sektor produksi di tanah air, namun secara pararel kita harus tahu bahwa Indonesia akan meningkatkan ekspor berkali-kali lipat dari impornya," kata Agus.

Dalam konteks ini, Agus meyakini keikutsertaan RI dalam RCEP akan ikut memperkuat kemampuan Indonesia untuk meningkatkan ekspor dengan memperdalam posisi RI dalam global supply chain melalui jaringan produksi di kawasan RCEP.

Berdasarkan data 2019, total ekspor nonmigas ke negara-negara RCEP 56,51% dari total ekspor Indoneia ke dunia senilai US$ 84,5 miliar. Sementara impor dari negara-negara RCEP merupakan sumber dari 65,79% dari total impor Indonesia dari dunia senilai US%$ 102 miliar.

"Dalam hal ini RCEP berpotensi memperkuat perdagangan kita dengan sesama negara anggota dan jangkauan masuk ke global value chain. RCEP harus dapat dimanfaatkan," ujar Agus.

"Kami juga akan mendorong pelaku usaha untuk memanfaatkan RCEP ini dan juga mendorong persaingan untuk memulihkan ekonomi. Hal ini sesuai arahan Presiden untuk memulihkan perekonomian terutama yang terkena pandemi Covid-19," lanjutnya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20201130112610-4-205630/mendag-beberkan-manfaat-rcep-bagi-ri-apa-saja

Rabu, 25 November 2020

AKHIRNYA MEREKA SADAR MANFAAT UU CIPTA KERJA

Ada sebuah poster yang mengundang orang untuk mengkuti diskusi soal UU Ciptakerja. Tema diskusi onlinenya adalah, 'UU Ciptakerja dan Manfaatnya Untuk Perekonomian Nasional.'

Penyelenggara diskusi adalah majalah Tempo, dengan sponsor dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Salah satu pembicaranya adalah Sofyan Djalil, Menteri Pertanahan dan Agraria. Sofyan adalah salah satu orang yang berada di belakang ide UU Cipta Kerja ini.

Kita tidak bicara kengototan Tempo yang dulu gak setuju dengan UU Cipta Kerja. Bahkan sampai meneriakkan pembangkangan sipil segala. Toh, kini Tempo sudah mulai terbuka matanya. Melihat manfaat UU ini bagi perekonomian nasional.

Tentu diskusi ini menarik. Sebab baru saja UU Cipta Kerja disahkan, di BKPM kabarnya sudah antri 153 perusahaan dari luar negeri yang mau menanamkan duitnya di Indonesia. Mereka berniat membangun usahanya di sini.

Kalau pengusaha asing berbondong-bondong berinvestasi di Indonesia, yang akan mendapat manfaat adalah masyarakat juga. Lapangan pekerjaan terbuka. Serapan tenaga kerja tinggi. Setidaknya ada transfer pengetahuan dan keterampilan saat mereka bekerja di sana.

Tapi, UU Cipta Kerja bukan melulu memudahkan investasi asing. Itu hanya bagian kecil saja dari seluruh rebirokratisasi yang dijalankan pemerintah. Yang paling kentara adalah mudahnya semua WNI membuat usaha. Kita tidak lagi harus dipusingi dengan beban administrasi yang segunung.

Anda punya ide usaha, ada pengalaman, punya keterampilan, sudah bisa mendirikan badan usaha sendiri. Tanpa harus berbiaya banyak, seperti ke noraris dan sebagainya. Cukup mendaftar. Usaha Anda akan tercatat resmi.

Bermodal ini Anda bisa ikut tender baik di pemerintah maupun. Apalagi dalam aturan, setiap Kementerian wajib menyisihkan sekian persen belanjanya untuk UMKM. Artinya UU ini membuka ruang bagi siapapun untuk membuka usahanya sendiri. Dan jalannya dipermudah.

Mudah bukan berarti serampangan. Yang paling penting adalah kepastian hukum. Kalau sebuah usaha gak diberi izin, karena menggunakan cara produksi yang beresiko, dari awal sudah disampaikan. Jadi gak buang-buang waktu. Apalagi kalau malah dibola kanan kiri dengan uang kutipan segala.

Itulah kepastian hukum. Pengusaha lebih suka hukum yang pasti ketimbang wilayah yang abu-abu. Dengan kepastian itu semua bisa diprediksi. Diperhitungkan. 

Lalu bagaimana bagi mereka yang gak bakat jadi pengusaha jika UU ini hanya memudahkan orang membuat usaha. Bukankah sebagian besar kita lebih berbakat jadi karyawan?

Nah, itu. Kalau membuka usaha begitu mudah dan simpel, otomatis akan banyak sekali perusahaan berdiri. Mereka membutuhkan karyawan. Karyawan dapat kesempatan kerja. Dapat gaji. Bisa belanja kebutuhannya.

Belanja setiap orang pada akhirnya akan menggerakkan ekonomi nasional. Roda berputar dan setiap orang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari tangannya sendiri.

Tapi ada juga masyarakat yang gak sanggup bersaing, karena mungkin soal pendidikan dan kondisi sosial. Nah, untuk jenis masyarakat seperti ini, ada mekanisme lain. Program bantuan sosial berupa Kartu Indonesia Sehat, program keluarga harapan, dan  sebagainya.

Dengan kata lain UU ini membuka ruang yang sangat lebar bagi masyarakat untuk lebih sejahtera. Dan itulah manfaat langsung dari UU Cipta Kerja.

Makanya majalah sekelas Tempo, yang dulu ngotot menentang UU ini, kini justru menjadi media yang getol mengkampanyekan manfaat UU Cipta Kerja. 

Mungkin sebagai masyarakat kita belum merasakan manfaatnya secara langsung. Karena UU ini butuh aturan teknis lainnya berupa PP, Kepmen dan lain-lain. Tapi mungkin saja Tempo sudah merasakan manfaatnya. Makanya dia kini ngotot membela UU ini.

Setidaknya manfaat, bahwa sebuah UU pasti ada dana sosialisasi. Dan sebagai media, Tempo menikmatinya.

Protes yang pernah disampaikan Tempo, bukan perkara substansi. Toh, kini mereka sibuk mengedukasi publik soal manfaat UU Cipta Kerja.

[Eko Kuntadhi]

RCEP KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS TERBESAR SETELAH WTO


Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebut Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) merupakan kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area/FTA) terbesar setelah World Trade Organization (WTO).

RCEP atau Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional yang beranggotakan negara-negara ASEAN dan lima negara mitra seperti China, Jepang, Korea Selatan, Australia, serta Selandia Baru diharapkan mampu memberikan celah baru dalam sektor perdagangan regional bersama negara mitranya. 

Kemendag berharap Indonesia mampu memainkan peran penting dalam RCEP. Berdasarkan kajian yang dilakukan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu 2019, keterlibatan Indonesia pada RCEP mampu meningkatkan produk domestik bruto 0,5%.

“Namun, ini perlu dikalkulasi ulang mengingat masa pandemi Covid-19. Namun begitu, di masa new normal selalu ada celah masuknya new opportunity,” kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo, dalam diskusi virtual di Jakarta, kemarin.

Iman juga menyebutkan kajian yang dilakukan Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag pada 2016 menunjukkan RCEP akan memberikan Welfare Gain kepada Indonesia sebesar USD1,52 miliar. Namun, perjanjian itu juga berpotensi meningkatkan defisit neraca perdagangan Indonesia sebesar USD491,46 juta. 

Selanjutnya, dari total tarif Indonesia yang jumlahnya 10.000 post tarif, 6.000 post tarif di antaranya terkait dengan kegiatan ekspor-impor Indonesia ke dan dari kawasan RCEP sehingga naik-turunnya ekonomi di kawasan RCEP akan sangat memengaruhi kinerja ekspor dan impor Indonesia.

Ira Aprilianti, peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan, Indonesia bisa memanfaatkan aktivitas langsung dari negara-negara anggota RCEP dengan memanfaatkan global supply chain. Namun, yang lebih penting, menurut dia, daya saing harus dipersiapkan lebih awal.

“Potensi peningkatan ekspor Indonesia dari spill over effect ini sebesar 7,2% dengan memanfaatkan peranan Indonesia dalam perluasan global supply chain. Kita hanya memerlukan 'structural adjustment' untuk tingkatkan daya saing agar mampu menarik manfaat RCEP dengan sebaik-baiknya,” tandasnya. 

RCEP adalah sebuah perjanjian perdagangan di mana 15 negara yang tergabung di dalamnya mencapai 29% penduduk dunia atau mencapai 27% dari total perdagangan dunia. RCEP juga merupakan jawaban atas berbagai tantangan global dan regional meliputi kemajuan teknologi, tren perdagangan antar negara maupun konteks lain yang menjadi isu hangat, salah satunya pandemi Covid-19. (Ichsan Amin/SindoNews)