Senin, 10 Agustus 2020

Pilih Aman Secara Finansial atau Bebas Secara Finansial?


Ketahui 9 Istilah Dunia Finansial untuk Mengurangi Risiko Investasi


Banyak orang tua yang mengajarkan anaknya:

“Udah, ga usah aneh aneh mau usaha, pokoknya kamu sekolah yang baik, kuliah yang baik, kerja sampai 55 tahun, terus pensiun.”

Ada juga,

“Pokoknya dapat uang, ditabung aja, nanti ketika pensiun, uang tabungan itu dipakai untuk dana pensiunmu. Kalau ada hal-hal urgent, kamu juga bisa pakai uang tabunganmu. Ga usah mikir investasi di bisnis, saham, property, atau apa lah itu, karena beresiko.”

Pernah mendengar nasihat seperti itu? Mungkin Anda pernah mendengar beberapa nasihat dari orang tua yang menginginkan anaknya menjadi aman secara finansial.

Gak salah sih mikir seperti itu. Anda mau tabung uang Anda, di rekening, atau celengan, deposito itu gak salah.

Tapi kalau Anda memiliki goal bebas finansial, yaitu Anda tetap bisa hidup dengan gaya hidup yang diinginkan tanpa harus bekerja lagi. Anda hidup dari passive income atau hasil investasi Anda.

Untuk bisa mencapai itu, tidak bisa dilakukan dengan cara menabung. Anda harus investasi, agar uang Anda bisa tetap terus bertumbuh dan bisa mendapatkan passive income.

Namun ketika investasi pun jangan sembarangan ya, misalnya Anda langsung memasukkan seluruh uang Anda ke satu instrumen investasi seperti saham.

Ingat untuk melakukan aset alokasi, dengan melakukan ini, Anda akan bisa untuk meminimalisir resiko tersebut.

Jadi, dari budget investasi Anda bagi-bagi ke berbagai instrumen seperti usaha, deposito, robot trading auto-pilot, properti, bisnis, dan lain-lain.

Dengan membagi seperti itu, diharapkan ketika suatu instrumen sedang turun, instrumen lainnya naik, sehingga jika dirata-rata secara keseluruhan, hasil investasi Anda selalu naik, dan Anda mendapatkan passive income pula dari sana.

Yuk kita mulai investasi dari sekarang!

(Diambil dari Buku “Melek Investasi” hal. 48-50)

Minggu, 09 Agustus 2020

Fungsi Lain Arak Bali, Lebih Dari Sekedar Minuman Beralkohol

Arak Bali, Lebih Dari Sekedar Minuman Beralkohol

Bali merupakan pulau Indonesia yang paling tersohor di seluruh Indonesia. Keindahan alamnya sangatlah kaya, mulai dari pantai indah yang mengelilingi pulau tersebut, gunung, maupun danau yang ada disana. Selain itu kebudayaan mereka selalu menarik untuk diminati bahkan ditelusuri lebih dalam.Mungkin selama ini yang sering disoroti dari budaya Bali adalah bentuk budaya pertunjukan maupun budaya adat yang memang terlahir dari ritualitas masyarakat Bali itu sendiri. Namun kali ini saya ingin mencoba mengupas salah satu budaya yang jarang diperhatikan orang dari Bali yaitu Arak Bali. Arak Bali adalah sebuah minuman yang berasal dari ramuan tradisional berbahan baku beras ketan. Melalui proses yang terbilang sederhana, yakni dengan fermentasi dan distilasi, minuman ini mengandung kadar alkohol yang cukup tinggi yaitu mencapai 40%. Pembeda Arak Bali dengan minuman beralkohol lainnya adalah pada fungsi konsumsinya. Jika selama ini kita ketahui minuman beralkohol dikonsumsi untuk menghangatkan tubuh. 


Namun tidak demikian dengan Arak Bali, minuman tersebut tidak hanya sebatas minuman beralkohol biasa yang hanya digunakan untuk konsumsi seperti pada umumnya, tetapi ada fungsi lain yang memang digunakan dalam kebudayaan masyarakat Bali itu sendiri. Salah satu perannya dalam kebudayaan maupun adat bali itu adalah penggunaan arak bali dalam beberapa upacara keagamaan. Penggunaan tersebut yakni dengan menuangkan sedikit arak Bali pada sesajen yang terdapat dalam upacara tersebut. Menurut masyarakat Bali sesajen yang diberi arak tersebut adalah sesajen yang dipersembahkan untuk Bhutakala. Selain itu arak tersebut juga dipercikan pada peralatan gamelan yang akan digunakan dalam upacara keagamaan. Bahkan menurut seoarang seniman senior Bali, I Wayan Dibia, arak Bali pada zaman dahulu sering dikonsumsi untuk penyemangat ataupun untuk penambah percaya diri para penari dan penampil yang akan melakukan pentasnya dalam sebuah pertunjukkan dalam ritual keagamaan. Bahkan menurut beliau, beberapa penampil yang mengeluarkan suara menjadikan meminum arak merupakan seperti ritual jika harus meminum arak agar tenggorokan mereka panas dan dapat mengeluarkan suara yang lebih maksimal ketika tampil. Keberadaan arak di tengah konsumsi masyarakat biasa maupun untuk ritual menimbulkan pertanyaan, sebenarnya Arak Bali memang terlahir karena dibutuhkan dalam sebuah ritual atau memang telah mengakar dalam budaya masyarakat untuk mengkonsumsinya?. Hal ini belum dapat terjawab, namun bagaimanapun Arak Bali merupakan salah satu hasil budaya masyarakat Bali yang memang selalu memiliki kekhasan dalam setiap lingkup tata kehidupannya. Saat ini Arak Bali juga dijadikan alternatif oleh-oleh yang bisa dibawa dari Bali bila kita berkunjung ke Bali. Ada beberapa merk dagang yang beredar, salah satu yang terkenal yaitu Arak Bali 'Dewi Sri' yang telah ada sejak 1930-an.

Arak Bali, Lebih Dari Sekedar Minuman Beralkohol

Sumber

Sabtu, 08 Agustus 2020

Cara Membuat Lawar Asli Bali Selangkah Demi Selangkah

Ketika saya tinggal di luar Bali, masakan khas Bali yang paling saya kangeni adalah “Lawar.” Saking kangennya, bermodalkan resep lawar dari sebuah tabloid saya nekad membuat lawar. Hasilnya? Lumayan, namun tidak seenak lawar asli buatan semeton Bali. Istri saya bilang “mungkin karena kurang pedas.

Quote:

KONSPIRASI VAKSIN "CHIP" MASUK ANGIN


by Daniel Sihombing

*Repost dari tulisan gw beberapa bulan yang lalu, agar orang yang ragu menjadi yakin.

Berimajinasi itu penting, tapi kalo tidak berdasar ujung-ujungnya akan menjadi khayalan doang. Salah satu contoh imajinasi tanpa dasar adalah kehidupan Harry potter yang berujung sebuah khayalan, berbeda dengan imajinasi pergi ke Bulan yang punya dasar teori yang tepat dan membuatnya menjadi nyata.

Saat ini, imajinasi teori konspirasi elite global dengan cara memasukkan chip kedalam vaksin adalah salah satu yang tanpa dasar. Kenapa?

1. Vaksin itu berupa cairan yang akan digunakan memakai jarum suntik sedangkan chip itu berupa benda padat. Walaupun chip itu sekecil bulir pasir jelas tidak akan bisa keluar melalui lubang jarum suntik yang bgtu kecil. Jadi agar chip itu bisa keluar melalui lubang jarum minimal chip itu sehalus bulir tepung/powder.

2. Sebuah alat pelacak seperti hal nya "Chip" dibutuhkan 3 komponen utama yaitu energy (baterai), pemancar (GPS) dan memory. Alasannya Chip tidak akan bisa dilacak jika tidak memiliki enegry sbagai pengaktif GPS dan memory sbagai otak dari chip tersebut.

3. Berhubungan dengan nomor (2), bhwa ke 3 komponen itu sangat mustahil diciptakan dengan sekecil bulir tepung saat ini, alsasannya.. 
Masuk akalkah 1/3 dari ukuran chip tersebut adalah komponen baterai yang harus punya daya tahan selama 50 tahun seukuran umur manusia?
Masuk akal kah 1/3 dari ukuran chip tersebut adalah komponen memory/procesor sebagai otak Chipnya?

Kalo elu masih membantah poin nomor 1 sampai 3 dengan alasan chip itu bisa diciptakan sedemikian rupa dengan alasan tekhnologi. Ya sudah ayo beralih ke poin brikut

4. Dengan teknologi mutakhir semacam itu, jelas biaya produksinya sangat mahal. 
Itu hukum teknologi, "semakin sulit suatu benda teknologi dibuat, semakin besar juga ongkos produksi nya". Jadi bisa dibayangkan berapa biaya pembuatan satu chip saja. Kalo gw asumsikan saja 1 chip seharga Rp.20juta maka dikalikan dengan jumlah pnduduk dunia 7,5 Milyar jiwa maka total nya.
Rp. 14,000,000,000,000,000,000
Gw yakin kalkulator HP elu juga gak sanggup hitung Nol nya itu. Yakin duit elite global ada sebanyak itu?

5. Berhubungan juga dengan diatas, bahwa ada kelompok yang berimajinasi bahwa chip itu bisa kapan saja diletupkan kalau ingin membunuh seseorang, artinya chip itu terbagi 4 komponen termasuk "bubuk messiu" sebagai komponen tambahan peledak. 
Makin bingung kan loe?

Kesimpulan nya daripada capek berimajinasi tentang chip vaksin para elite global karena pengaruh film Hollywood, lebih baik  berimajinasi yang lebih nyata saja lah.

"Contohnya bang?"

"Fake Taxi gitu"

Jumat, 07 Agustus 2020

Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?

Alat pemenggal sangat populer pada abad ke 18. Alat ini diciptakan oleh Dr. Joseph Ignace Guillotine. Dia menciptakan alat ini untuk menghukum para terpidana mati dengan lebih manusiawi. Karena pada era revolusi perancis para terpidana mati harus di hukum dengan cara di penggal menggunakan pedang atau kapak yang sering gagal. Sehingga alat ini sering di sebut dengan guillotine berdasarkan nama penemunya.

Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?

Pada tahun 1793 seorang wanita bernama Charlotte Corday harus menerima hukuman di penggal karena terbukti membunuh seorang tokoh penting bernama Jean Paul Marrat.


Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?

Proses hukuman mati berjalan dengan lancar dalam satu tebasan kepala corday dapat terpisah dari tubuhnya, Lalu algojo mencoba mengangkat memeriksa corday apakah masih hidup atau tidak. Diangkatlah kepala corday lalu ditamparnya. Ternyata kepala corday masih memberikan reaksi dengan MEMERAHNYA DI BAGIAN PIPI.


Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?

Dikasus lain pada tahun 1794, Antoine Lavoiser harus berhadapan dengan alat pemenggal ini. Sama seperti corday hanya dalam satu tebasan kepalanya dapat terpisah dari tubuhnya. Pada kasus Antoine setelah ditebas kepala Antoine masih bisa memberikan reaksi dengan BERKEDIP SELAMA BEBERAPA DETIK sebelum pada akhirnya mati.


DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN DENGAN CARA ONLINE KLIK DISINI

Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?

Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?

Terdapat sebuah catatan dari seorang ilmuwan bernama Dr, Beauriex yang menyaksikan secara langsung eksekusi pemenggalan kepala. Dan hasil penelitian nya sebagai berikut.
"Maka inilah yang dapat saya catat setelah pemenggalan kepala; kelopak mata dan bibir korban berkontraksi secara tidak teratur dalam 5–6 detik. Fenomena ini telah diingat oleh mereka yang berada disini untuk mengamati apa yang terjadi setelah pemenggalan."
"Saya menunggu beberapa detik, gerakan spasmodik berhenti, wajahnya rileks, kelopak matanya setengah tertutup hanya menyisakan putihnya. Persis seperti orang sekarat yang sering kita jumpai di kehidupan sehari-hari. Saat itulah saya memanggil dengan suara yang keras "Languille" Saya melihat kelopak mata perlahan-lahan terangkat tanpa kontraksi spasmodik, seperti orang yang baru terbangun dari tidurnya"
"Lalu mata languille dengan jelas menatapku. Saya seperti tidak berhadapan dengan tatapan kusam yang samar-samar tanpa ekspresi apapun. Saya berhdapan dengan mata yang hidup yang menatap saya juga. Setelah beberapa detik kelopak mata menutup lagi secara perlahan. dan kepala itu memiliki penampilan yang sama seperti sebelum saya memanggilnya."
"Lalu saya mencoba memanggilnya lagi, kepala itu beraksi. perlahan-lahan kelopak mata terangkat tetapi dengan penetrasi yang kurang dari sebelumnya. Disana ada kelopak mata tetapi terasa kurang lengkap. Saya mencoba untuk memanggilnya lagi namun tiada reaksi lebih lanjut."
"Saya baru saja menceritakan kepada anda apa yang saya amati semua berlangsung selama 25–30 detik"


Berapa Lama Kepala Manusia Bisa Bertahan Setelah Di Penggal ?

Kata Sejarawan, Wabah Flu Spanyol Diselesaikan oleh Masyarakat Sendiri

Kata Sejarawan, Wabah Flu Spanyol Diselesaikan oleh Masyarakat Sendiri

Kata Sejarawan, Wabah Flu Spanyol Diselesaikan oleh Masyarakat Sendiri

Ternyata belakangan ini baru diketahui kalau masyarakat kala itu bisa berhasil melawan wabah Flu Spanyol karena diselesaikan oleh masyarakat secara mandiri. Salah satu contoh masyarakat yang secara mandiri berhasil memerangi wabah Flu Spanyol adalah masyarakat Hindia Belanda (nama Indonesia sebelum merdeka).

Kenapa masyarakat Hindia Belanda bisa dikatakan mampu menyelesaikan wabah Flu Spanyol secara mandiri?

Jawaban dari pertanyaan itu adalah karena menurut Sejarawan UI, Tri Wahyuning, menyebut kalau pemerintah kolonial kala itu seakan abai dan tidak peduli dengan penyakit yang sedang mewabah di seluruh dunia dalam rentang waktu dari tahun 1918 hingga 1920.

Karena terkesan abai dan penanganan yang kurang baik dari pemerintah, menyebabkan banyak sekali korban jiwa di Hindia Belanda. Kalau melansir dari berbagai sumber penelitian, Peneliti Wabah UI, Syefri Luwis, mengatakan korban jiwa akibat wabah Flu Spanyol di Hindia Belanda mencapai 4,37 juta jiwa. Kalau dibayangkan pasti ngeri banget situasinya kali ya di zaman itu.

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN DENGAN CARA ONLINE KLIK DISINI

Kata Sejarawan, Wabah Flu Spanyol Diselesaikan oleh Masyarakat Sendiri

Korban jiwa dengan jumlah yang fantastis itu tentunya didasarkan karena lambannya respon pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam menanggapi kasus-kasus terkait gejala penyakit dari wabah Flu Spanyol yang dirasakan oleh masyarakat.

Mirisnya lagi, pernah ada laporan tentang banyaknya korban melalui telegram yang didapat dari berbagai daerah seperti Bali dan Banyuwangi, namun sayangnya laporan tersebut malah tertahan selama berbulan-bulan oleh lembaga yang kala itu secara administratif setara dengan sekretariat negara.

Kondisi seperti itu pun membuat pemerintah kolonial di daerah jadi panik sendiri. Akhirnya, mereka pun menyerahkan kepada masyarakat untuk bertindak sendiri dalam menghadapi wabah Flu Spanyol.

Mungkin karena terbatasnya riset medis kala itu, akhirnya masyarakat mencari solusi alternatif dengan cara menggunakan pengobatan tradisional. Di dalam Serat Centini disebutkan tuh kalau terdapat berbagai bahan-bahan alami yang digunakan sebagai pengobatan, misalnya seperti jamu.

Kata Sejarawan, Wabah Flu Spanyol Diselesaikan oleh Masyarakat Sendiri

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN DENGAN CARA ONLINE KLIK DISINI

Pelajaran yang bisa kita petik dari kejadian di masa lampau tersebut adalah bahwa kita sebagai masyarakat punya peran yang sangat signifikan dalam mengakhiri pandemi yang terjadi. Jadi, meskipun pemerintah berusaha sekeras mungkin untuk menghentikan laju penyebaran virus, tapi kalau masyarakatnya sendiri acuh ya fenomena pandemi sulit untuk berakhir Gan.

Harusnya sih kita bisa selangkah lebih pintar ya dibandingkan masyarakat Hindia Belanda pada tahun 1918 lalu. Secara, kita kan udah punya berbagai riset dari pengalaman pandemi yang pernah terjadi dibandingkan masyarakat kala itu. Jadi ya kalau mereka aja bisa terus waspada selama pandemi belum berakhir, masa kita enggak?

Kata Sejarawan, Wabah Flu Spanyol Diselesaikan oleh Masyarakat Sendiri

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN DENGAN CARA ONLINE KLIK DISINI

Di Balik Nama Kampung Arab dan Keresahan Warga Puncak

Nama Kampung Arab menjadi sorotan beberapa hari terakhir, hal tersebut berawal dari Ombudsman Republik Indonesia yang mengungkapkan hasil pemeriksaan terkait tata kelola kawasan Kampung Arab di Cisarua, Kabupaten Bogor. Namun sesungguhnya kampung tersebut bernama Kampung Sampai Jalan Sindang Subur atau Kampung Warung Kaleng.

Menurut pantauan Republika pada Selasa (4/8), Kampung Arab sendiri terlihat sangat sepi. Ruko yang berjajar dijalan utama juga nampak sebagian besar tutup. Bahkan ada beberapa toko yang terlihat tidak terurus.

Ketika memasuki salah satu toko yang berpalang bahasa arab bahkan tulisan di pintu juga berbahasa arab dengan tinta berwarna biru dan dan merah. Ketika memasukinya pegawai maupun pemilik ternyata merupakan orang Indonesia. Sayangnya pemilik enggan untuk diwawancarai.

Ketika pergi ke desa dibelakangnya, hanya terlihat permukiman warga biasa. Tidak terlihat adanya aktivitas orang asing. Ketika Republika juga mendatangi salah satu tempat tinggal imigran Uzbekistan yang berada di belakang kantor Desa Tugu Selatan, juga tidak terlihat aktivitas apapun.

Kelapa Desa Tugu Selatan, Eko Windiana menyebutkan masyarakat keberatan disebut sebagai Kampung Arab. Menurut mereka nama Kampung Sampai merupakan nama yang telah diturunkan oleh leluhur sehingga mereka menolak yang datang entah dari mana.

“Nama kampung itu aslinya Kampung Sampai Jalan Sindang Subur atau disebut Kampung Warung Kaleng karena dulu jual material. Tokoh sama warga sempat datang ke sini karena mereka enggak setuju disebut Kampung Arab, nama kampungnya Sampai kan dari leluhur mereka,” tutur Eko kepada Republika, Selasa (4/8).

Kampung yang terletak di antara Desa Tugu Utara dan Selatan ini memang menggunakan bahasa Arab di plang maupun tulisan di pintu ruko. Namun Eko menyebut, pemilik bangunan merupakan orang Indonesia.

“Kalau tulisan mungkin Arab memang iya tapi pemilik tanah dan bangunan orang kita. Karena sejauh ini saya enggak pernah dengar imigran beli tanah. Kampung Arab dan imigran juga beda ya. Kalau imigran ini banyak ada Pakistan, Uzbekistan, Irak, Afrika dan yang lainnya,” ujar dia.

Hal senada juga disampaikan salah satu staf Desa Tugu Utara, Doni Adi yang menyebut Kampung Arab sendiri terbagi di dua desa. Mengenai imigran ia menyebut mereka tinggal terpencar di beberapa wilayah.

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN DENGAN CARA ONLINE KLIK DISINI

Desa sendiri sulit untuk melacak mereka karena tidak ada laporan setiap perpindahan sejauh ini. Doni menyebut para imigran sendiri selalu berpindah tempat tinggal dengan cepat.

“Kita sendiri sulit untuk melacak mereka, karena mereka ngontrak. Setiap berpindah enggak ada yang lapor baik pemilik kontrakan maupun RT setempat. Tapi kalau di Kampung arab sendiri setahu saya cuma satu atau dua yang mukim di sini, di Desa Cibureum dan Batu Layang mungkin lumayan banyak,” ujar dia.

Dari kedua desa tersebut memiliki keluhan yang sama, yakni para imigran yang meresahkan warga sekitar. Di dua desa tersebut juga mengakui sering mendapat laporan dari warga terkait pertikaian antar imigran bahkan pertikaian dengan masyarakat sekitar.

Sikap acuh para imigran juga menjadi masalah di masyarakat, tidak menegur sapa bahkan bersikap tidak peduli dengan masyarakat sekitar juga menjadi masalah. Selain itu para imigran yang beragama muslim menurut masyarakat tidak pernah melaksanakan sholat berjamaah bahkan untuk Sholat Jumat.

Salah satu warga Didi (24 tahun) menyebut Kampung Arab sendiri biasanya hanya berisikan para turis yang makan atau membeli sesuatu. “Kalau Arab mereka biasanya turis, ke sini ramai buat makan atau beli sesuatu. Sekarang lihat saja enggak ada kan? Soalnya mereka biasanya cuma wisata saja jadi pas Corona ya enggak ke sini,” ucap Didi.

Camat Cisarua, Deni Humaedi juga memaparkan hingga kini kecamatan kesulitan untuk melakukan pendataan dan pengawasan terhadap imigran di kawasan Kampung Arab. Hal tersebut karena imigran sering berpindah tempat tanpa melapor bahkan pada RT atau RW setempat.

“Mereka tidak menetap. Kadang ngontrak di sini, bulan depan di situ, berikutnya pindah lagi ke tempat lain jadi sulit untuk kita ngedatanya. Untuk data tahun lalu kita ada 616 imigran yang tersebar di 7 desa,” kata Deni.

Desa tersebut meliputi Desa Cisarua, Tugu Utara, Cibeureum, Tugu Selatan, Batulayang, Citeko, dan kopo. Setiap titik Deni menyebut para imigran akan tinggal berkelompok.

Ia sendiri tidak menapik banyaknya plang Arab, Deni menjelaskan, sebagian merupakan usaha milik Warga Negara Indonesia (WNA) sendiri. Sebab, plang itu sebagai upaya untuk menarik pembeli wisatawan Arab.

Terkait kabar langkah yang diambil Bupati Ade Yasin yang akan memindahkan para imigran, Deni sangat menyetujuinya. Ia menyebut hal tersebut sangat tepat karena akan lebih mudah memantau para imigran di satu lokasi.

https://republika.co.id/berita/qekam...n-warga-puncak

DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN DENGAN CARA ONLINE KLIK DISINI